Buya Syafii: Hijrah Tidak Hanya Masalah Pindah Tempat
YOGYA – Surah Al Maidah menyebutkan “Allah menjaga engkau (Muhammad) dari gangguan manusia”. Meski begitu, Allah tidak langsung turun tangan menghancurkan kaum Quraisy. Masalahnya, yang dipahami orang Quraisy tentang Allah berbeda dengan yang dipahami Nabi Muhammad SAW. Allah yang dikenal bukan hanya pencipta tapi juga pendidik.
Pernyataan Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif ini disampaikan dalam Pengajian Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah secara virtual, Jum’at (13/8). Pada acara tersebut Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr. H. Haedar Nashir, M.Si., memberikan sambutan pengantar. Dua pembicara lain adalah Pof. Dr. Komaruddin Hidayat dan Dr. Hj. Chusnul Hayati, M.Si. Pendapat mereka ada di berita terpisah mediamu.com.
Menurut Buya Syafii, sesungguhnya yang sulit bagi orang Quraisy adalah memahami kehidupan setelah mati. Sebagaimana dalam Al Qur’an “Mereka heran bahwa di tengah-tengah mereka ada munzir (pemberi peringatan) dari kalangan mereka dan ini sesuatu yang ajaib dan ganjil”.
Perjalanan Nabi Muhammad di Mekkah selama 13 tahun memiliki pengikut akan tetapi jumlahnya sedikit sekali dan masih tidak bisa mengalahkan oligarki kaum Quraisy yang luar biasa kejam. Masyarakat Quraisy seperti piramid. Yang di atas kelompok kecil penguasa ekonomi dan di bawah kelompok orang-orang miskin.
Jadi Allah ingin mengubah ketimpangan sosial yang begitu tajam dan ini akan menyebabkan kegoncangan. Sebab, hak-hak kaum Quraisy akan berantakan kalau tauhid ditegakkan, karena sekaligus menegakkan keadilan.
Maka persoalan hijrah yang awalnya mengandung pengertian pindah tempat ini juga bisa dimaknai dengan berubahnya perilaku. Momentum hijrah ini yang menentukan adalah ijtihad sahabat nabi. Jika dilihat waktu yang relative singkat timbul pertanyaan mengapa usia Nabi Muhammad lebih pendek dibanding nabi yang lain?
Bisa dikatakan sebabnya ialah keberhasilan Nabi dalam berbagai bidang dalam waktu relative singkat. Itulah perjalanan hijrah Nabi Muhammad.
Buya mengkaitkan hal itu dengan Indonesia yakni tentang kemerdekaan. Ia berpikir sekiranya dahulu pasangan Soekarno-Hatta bisa bertahan. Dulu Hatta mundur sebagai wakil presiden tahun 1956 atas kehendak sendiri sedangkan Bung Karno tidak menginkan hal itu. Tapi Hatta apabila sudah memutuskan sesuatu walaupun dibujuk tetap tidak bisa. Maka ketika Hatta mundur bisa dikatakan antara Soekarno dan Hatta ini ibarat gas dan rem.
Hatta, menurut referensi Buya, tidak paham kultur Jawa, tidak paham filsafat aksara Jawa tentang dipangku mati. Sekiranya Hatta tahu pasti ia bisa sabar. Sebab walaupun terjadi perbedaan pandangan, secara pribadi dua orang ini bersahabat. Sekiranya Soekarno-Hatta bertahan selama 10 tahun negeri ini tidak seperti ini, akan tetap lebih bagus.
Bagi Buya, hal tersebut bukan untuk disesali. Tetapi, menjadi pengetahuan dan bahan perbaikan para generasi penerus dalam mengisi kemerdekaan dengan perilaku lebih baik. (*)
Wartawan: Mayda Dwi
Editor: Heru Prasetya
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow