Apa yang Kurang dan Harus Dikembangkan dari Penulisan Sejarah Muhammadiyah?

Apa yang Kurang dan Harus Dikembangkan dari Penulisan Sejarah Muhammadiyah?

Smallest Font
Largest Font

BANTUL – Kongres Sejarawan Muhammadiyah 2021 digelar Sabtu dan Ahad (27 dan 28 November) secara daring dan luring. Kegiatan ini terbagi dalam enam sesi panel dan empat sesi pararel. Dimulai dengan sesi bertema “Historiografi Muhammadiyah: Memetakan Tema-tema Penulisan Sejarah Muhammadiyah Selama Ini”.

Sejumlah akademisi menyampaikan pandangan dan kajian seputar penulisan sejarah Muhammadiyah dari kacamata masing-masing. Secara berurutan, Dr. Chusnul Hayati (Universitas Diponegoro), Dr. Mutiah Amini, M.Hum. (Universitas Gadjah Mada), Prof. Dudung Abdurrahman, M.Hum. (UIN Sunan Kalijaga), dan Muhammad Yunda Zara, Ph.D. (Universitas Negeri Yogyakarta).

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Dr. Chusnul mengawali dengan mengupas materi “Yang Belum Tersentuh dari Kajian Sejarah Perempuan Muhammadiyah (‘Aisyiyah)”. Mula-mula menyebut ‘Aisyiyah sebagai salah satu organisasi perempuan tertua hingga sekarang, ia menyampaikan, “Tapi masih lebih banyak tulisan tentang Muhammadiyah daripada ‘Aisyiyah.”

Tulisan-tulisan yang ada tentang ‘Aisyiyah pun belum mengupas secara komprehensif. Kiprah ‘Aisyiyah dalam sejarah Indonesia sejak masa pergerakan nasional hingga saat ini dan besarnya jumlah amal usaha di berbagai bidang tidak diimbangi dengan hasil karya tulis sejarah. Padahal, sejarah berperan penting untuk memberi arah membangun kebijakan ke depan.

Terdapat beberapa problem metodologi yang disorot Chusnul mengenai penulisan sejarah ‘Aisyiyah.

  • Unit kajian yang masih spasial.
  • Minat menulis sejarah masih rendah.
  • Semakin berkembangnya amal usaha, majelis, serta lembaga ‘Aisyiyah yang menambah kompleksitas fenomena historis. Sehingga, penulisan sejarah perlu pendekatan baru untuk mempertajam analisisnya. 
  • Sumber sejarah yang sulit dicari karena kesadaran untuk mengelola arsip masih kecil. Bahkan ada yang berpikir, “Kenapa sih harus ditulis, kita kan lillahi ta’ala!”
  • Mengenai metode penelitian sejarah sendiri.
  • Pentingnya melibatkan warga ‘Aisyiyah sebagai pelaku sekaligus peneliti sejarah. Ini yang disebut Chusnul sebagai sejarah mikro.

Mutiah Amini mengupas “Peluang Mengembangkan Family History dalam Penulisan Sejarah Muhammadiyah”. Ia melihat, dari total 172 Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) yang dinaungi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah hanya sekitar lima yang memiliki program studi sejarah.

“Hari ini kita hadir di konferensi Muhammadiyah, terlambat tentunya, tapi ini menjadi modal awal untuk bisa menulis sejarah secara komprehensif,” tutur Mutiah.

Penulisan sejarah Muhammadiyah yang begitu luas potensinya dapat dilakukan pihak luar maupun dalam Muhammadiyah. Hal yang ditawarkan ialah family history yakni melihat persyarikatan sebagai sebuah rumah berisi anggota-anggota keluarga.

Dengan menggunakan kerangka berpikir itu, terdapat dua hal yang bisa dilihat. Pertama, relasi Muhammadiyah dengan organisasi otonomnya. Pertanyaan mendasar yang muncul kemudian ialah bagaimana relasi sosio-kultural antara Muhammadiyah dengan organisasi otonom terbangun dan bagaimana implikasinya di dalam perkembangan organisasi.

Kedua, apabila sejarah keluarga ditempatkan sebagai satu hubungan relasi internal antarwarga Muhammadiyah, maka penting pula melihat bagaimana relasi internal tentang spirit kemuhammadiyahan yang tumbuh dalam diri warga Muhammadiyah ditilik dari perkembangan di tingkat lokal dan aktivitas para tokohnya.

Dr. Mutiah mencoba membaca relasi antarkader dan tokoh di Muhammadiyah dan menyusun contoh hasil analisisnya dalam sebuah tabel. Pada masa awal, fenomena kerabat dan sahabat KH Ahmad Dahlan yang bergabung di persyarikatan menjadi contoh-contoh nyata. Genealogi ini dapat dilihat dari warga Muhammadiyah secara umum.

Menurutnya, family history dapat dengan adanya potensi sumber berupa data perkembangan cabang Muhammadiyah yang begitu luas, perkembangan pendidikan (amal usaha), serta ideologi keluarga. Ia mencontohkan, “Kenapa masuk TK ini, kenapa masuk SLTA ini? Pasti ditemukan relasi-relasi keluarga.”

Melalui pendekatan family history dalam menulis sejarah Muhammadiyah ini, Mutiah mengatakan bahwa masyarakat dapat melihat bagaimana kemuhammadiyahan tumbuh dalam diri warganya. Hal ini menegaskan bahwa sejarah tidak melulu hal-hal besar, juga sesuatu yang sifatnya personal.

Dudung Abdurrahman melanjutkan materi dengan judul “Sejarah Pemikiran Muhammadiyah: Rekonstruksi dan Aktualisasi dalam Historiografi Muhammadiyah”. Menurutnya, sejarah pemikiran organisasi ini tidak dapat dipisahkan dari sejarah Islam di Indonesia.

Terdapat periodeisasi yang menunjukkan tema-tema sejarah pemikiran Muhammadiyah. Periode awal abad ke-20 atau pra-kemerdekaan Indonesia, dengan tema kuat adalah orientasi pemikiran yang bercorak reformisme puritan.

Periode selanjutnya di masa kemerdekaan dengan dimana corak pemikiran para tokoh saat itu banyak diwarnai reformasisme-akomodatif. Ketiga, periode kontemporer dengan pemikiran bercorak neomodernisme progresif. Menurutnya, neomodernisme menunjukkan bahwa Muhammadiyah makin beragam dan variatif

Rekonstruksi sejarah pemikiran tersebut sebagai suatu tema dalam historiografi dapat dilakukan secara tematik dan aktual berdasarkan dinamika keilmuan, umat Islam, maupun organisasi. “Pengembangan sejarah pemikiran Muhammadiyah penting dilakukan secara institusional dalam struktur organisasi maupun lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah,” tuturnya.

Muhammad Yuanda Zahra, Ph.D. mengulas materi “Tema-tema Ringan dan Kehidupan Sehari-hari dalam Kajian Sejarah Muhammadiyah”. Penelitian mengenai sejarah tidak terkesan jauh dan sulit, menurut Yuanda Zahra, terdapat hal-hal sederhana yang bisa menjadi titik berangkat untuk mengulas soal sejarah.

Tema-tema selama ini lebih banyak mengupas Muhammadiyah sebagai organisasi, organisasi otonom Muhammadiyah, gagasan pembaruan keagaaman, kiprah sosial, pendidikan, relasi, maupun sejarah lokal. Menurut Yuanda, perlu ada pendekatan dan tema baru yang dikupas.

Ia memberikan beberapa contoh cerita sejarah yang pernah ditulisnya, seperti “Muhammadiyah dan Sepeda”. Ada hal menarik ketika mengulas sejarah penggunaan sepeda oleh warga Muhammadiyah. Sepeda adalah simbol modernitas, kemapanan, keterampilan, dan kebebasan. Salah satu cerita menarik ketika ada kegiatan Muhammadiyah yang dinamai “Tablegh dengan Fiets”.

Di antara contoh lain yang ditunjukkan adalah sejarah Suara Muhammadiyah, sejarah salah satu masjid yang didirikan Muhammadiyah dan menjadi ruang komunitas bagi para jamaah, sejarah kesadaran tentang pentingnya kesehatan pada warga Muhammadiyah, serta fakta tentang KH Ahmad Dahlan sebagai penulis.

“Sejarah mengajarkan bahwa ada banyak cara menjadi Muhammadiyah dan cara-cara yang beragam itu patut untuk dikaji dengan mendalam,” katanya. Oleh karenanya, penting untuk melihat berbagai cerita berkaitan dengan Muhammadiyah sebagai bagian dari puzzle menuliskan sejarah organisasi ini. (*)

Wartawan: Ahimsa W. Swadeshi
Editor: Heru Prasetya

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow