Bedah Karya Muhammadiyah: PKO Berawal dari Kegiatan Revolusioner
YOGYA – Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) PP Muhammadiyah berencana mengadakan Kongres Sejarawan Muhammadiyah pada 27-28 November 2021. Selain undangan untuk menulis Call for Papers, Bedah Karya Sejarah Muhammadiyah menjadi salah satu rangkaiannya. Dilaksanakan Senin (6/9), diskusi ini bertema “Muhammadiyah dan Wong Cilik: Sejarah Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO)”.
Diskusi tersebut menghadirkan Mu’arif, M.Si. sebagai pembicara. Selain redaktur Suara Muhammadiyah, Mu’arif telah melahirkan buku-buku Muhammadiyah, di antaranya Benteng Muhammadiyah dan Covering Muhammadiyah. Kegiatan ini dilakukan melalui teleconference dan ditayangkan secara live di YouTube Radiomu.
Diawali dengan pengantar Hj. Widyastuti, S.S., M.Hum., Wakil Ketua MPI PP Bidang Museum. “PKO saat ini menjadi primadona ketika kita sedang menghadapi masalah pandemi. Sehingga membahas sejarahnya menjadi sesuatu yang menarik dan perlu,” katanya.
Kongres Sejarawan Muhammadiyah yang sedang disiapkan merupakan upaya mendorong karya penelitian sejarah tentang Muhammadiyah, khususnya peran spesifiknya di masa lalu. Selain itu, ia mengatakan bahwa sebenarnya banyak kader Muhammadiyah yang sangat lekat dengan studi sejarah. Sehingga kegiatan kongres ini adalah usaha untuk “ngumpulke balung pisah” (mengumpulkan tulang-tulang yang terpisah).
Mu’arif banyak menyuguhkan arsip-arsip sejarah khususnya yang ditulis Drijowongso (sekretaris pertama PKO yang mendampingi Kiai Syuja’). Salah satu judul arsipnya adalah “Kissah Pergerakan Moehammadijah Bagian P.K.O. di Djokja”.
Latar belakang awal munculnya PKO adalah peristiwa bencana alam di Jawa Timur yaitu meletusnya Gunung Kelud tahun 1919 yang memakan banyak korban. Saat itu Kiai Syuja’ dan teman-teman berinisiatif menggalang bantuan berupa uang, peralatan medis, serta makanan pokok. Uang dan beras menjadi paling dominan terkumpul ketika itu.
Meskipun penggalangan dana berlangsung sukses, namun tidak jadi dikirimkan. “Ada instruksi dari raja Yogyakarta sebaiknya dialihkan untuk rakyat Yogya yang miskin,” terang pemateri. Saat itu bencana Gunung Kelud sudah ditangani pemerintah kolonial. Sehingga dana itu lebih bermanfaat digunakan untuk membantu fakir miskin di Yogyakarta.
Keberadaan PKO waktu itu belum secara resmi menjadi bagian dari Muhammadiyah. Awalnya kelompok tersebut disebut “Komite Kelud” yang melibatkan berbagai elemen, termasuk di antaranya dokter dari Belanda serta intelektual keturunan Belanda yang membantu penggalangan dana.
“Ini menjadi catatan tersendiri bahwa aktivitas kemanusiaan memang tidak mengenal latar belakang agama dan etnis,” tambah Mu’arif.
Kegiatan membantu kaum fakir miskin di perkotaan tersebut kemudian sering dikenal sebagai “revolusi Al Ma’un”. PKO secara resmi menjadi bagian dari Muhammadiyah pada 17 Juli 1920 sebagai bagian dari empat unsur pembantu pimpinan di samping Bagian Sekolahan, Bagian Tabligh, serta Bagian Taman Pustaka.
Selain memiliki kegiatan penggalangan dana, PKO mengadakan program kreatif bernama Restoran pada bulan puasa yang kerap disebut sebagai Pasar Tiban di kampung Kauman. Para warga berjualan makanan di sekitar Kauman kemudian keuntungannya digunakan membantu Ruman Miskin, Poliklinik, Rumah Jompo, Rumah Yatim, dan sebagainya.
Mu’arif juga mengungkapkan ada banyak cerita sejarah tentang Muhammadiyah yang menarik untuk dikulik. Termasuk latar belakang Drijowongso yang ternyata sebelum terlibat di Muhammadiyah sangat getol memperjuangkan hak kaum buruh dan menjadi aktivis permogokan sampai beberapa kali dipenjara.
Pada saat-saat itulah, karena mendengar tentang Muhammadiyah, ia yang sedang dipenjara mengirim surat kepada persyarikatan untuk memohon bantuan supaya istri dan anaknya di Sidoarjo dapat dirawat. Menanggapi surat itu, K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Fachruddin, serta Siti Munjiyah kemudian menjemput keluarga Drijowongso. Istri Drijowongso kemudian banyak berkiprah menjadi intelektual bangsa, termasuk dalam Kongres Perempuan Pertama. Begitupun anaknya tumbuh menjadi pribadi terdidik.
Drijowongso sepulang dari penjara begitu terharu dan terkesan. Sehingga tahun 1923 memutuskan bergabung dan siap berjuang di Muhammadiyah. PKO kemudian dipimpin oleh Kiai Syuja’ dan Drijowongso yang memiliki spirit tidak jauh berbeda.
“PKO waktu itu begitu revolusioner, kekiri-kirian tapi dalam arti positif,” kata Mu’arif.
Pembahasan soal sejarah PKO ini selanjutnya mengundang banyak diskusi yang ternyata memakan waktu lebih panjang daripada materinya sendiri. (*)
Wartawan: Ahimsa
Editor: Heru Prasetya
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow