Blak-blakan tentang Tsunami dalam Webinar MDMC PP, Pernah Setinggi 10 KM

Blak-blakan tentang Tsunami dalam Webinar MDMC PP, Pernah Setinggi 10 KM

Smallest Font
Largest Font

YOGYA – Oktober sering disebut sebagai Bulan Pengurangan Risiko Bencana. Terkait hal itu, Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengadakan webinar “Ketangguhan Komunitas dalam Menghadapi Ancaman Gempa & Tsunami di Tengah Pandemi”, Selasa (5/10) malam.

Sekitar 230 peserta sempat bergabung dalam ruang teleconference. H. Budi Setiawan, S.T., Ketua MDMC PP Muhammadiyah, memberikan sambutan. Salah satu harapana ke depan ialah adanya peningkatan kapasitas organisasi MDMC.

Advertisement
Scroll To Continue with Content

“Organisasi yang rapi akan meningkatkan prestasi yang tinggi untuk mengurangi risiko bencana,” katanya.

Pemateri dalam kegiatan ini ialah Dr. Ma’rufin Sudibyo, S.T. Sebagai ahli Geologi dan pakar Tsunami, ia menyampaikan materi berjudul “Ngaji Tsunami” dengan menunjukkan ciri-ciri fenomena alam ini.

Tsunami memiliki kecepatan gelombang yang berbeda-beda tergantung kedalaman laut. Semakin mendekati pantai, kecepatannya semakin kecil. Tsunami terdiri dari banyak gelombang dan biasanya gelombang pertama bukanlah yang paling besar.

Ma’rufin menunjukkan kasus Tsunami Palu tahun 2018 yang berlangsung 3,5 menit ternyata memiliki kecepatan 300 km/jam ketika sudah mencapai pantai. “Alirannya serupa banjir bandang, daya rusaknya luar biasa. Bedanya, itu membawa material dari laut,” tuturnya menjelaskan ciri tsunami secara umum.

Terdapat beberapa penyebab tsunami, antara lain sumber vulkanik, longsor besar, cuaca buruk, dan gempa tektonik. Untuk yang terakhir merupakan paling sering terjadi, apalagi di Indonesia. Di samping itu semua, tsunami juga bisa terjadi akibat tumbukan benda langit besar. Ini pernah terjadi sekitar 65 juta tahun silam yang menyebabkan musnahnya dinosaurus di bumi.

Sampai sekarang, kasus seperti ini masih belum memiliki simulasi penanganan yang komprehensif. Ketika itu, diperkirakan tinggi gelombangnya mencapai sepuluh kilometer. “Ketika sampai di pesisir Asia atau Eropa, tingginya masih 200 hingga 300 meter,” ungkapnya. Itulah yang menjadikan sebanyak 75 % populasi dunia musnah.

Tsunami vulkanik pernah terjadi pada tahun 2018 saat meletusnya Gunung Krakatau. Sebetulnya sejak awal para ahli sudah memperkirakan akan terjadi hal yang tidak mengenakkan jika melihat aktivitas gunung itu. “Saat meletus, dari gunung yang awalnya runcing ke atas, akhirnya terpangkas jadi landai,” jelas Ma’rufin.

Menyoal daya rusak, ia kembali menunjukkan contoh tsunami Palu tahun 2018 yang mampu mendamparkan kapal besar dengan berat puluhan ton ke daratan. Bahkan pada tahun 1883, tsunami Krakatau memindahkan batu karang raksasa dari laut seberat 50 ton.

“Ini yang dikhawatirkan. Pemerintah berpikir pemecah gelombang bisa menyelesaikan masalah, padahal breakwater dapat dikalahkan oleh tsunami,” tutur pemateri.

Indonesia memang menjadi daerah rawan menghadapi bencana tsunami, khususnya bagian pesisir. Daerah tersebut berhadapan dengan zona subduksi atau gunung berapi laut yang sejarah letusannya mirip dengan Krakatau. Di pesisir selatan Pulau Jawa, di antara yang paling rawan adalah daerah Bantul, Kulonprogo, Purworejo, Kebumen, dan Cilacap.

Ma’rufin bukan tanpa sengaja mengawali materinya dengan cerita-cerita menakutkan perihal tsunami. “Kalau ngomongin bencana memang harus ngomongin skenario-skenario yang ngeri-ngeri dulu,” jelasnya. Kemudian, bagaimana cara mengelola mitigasinya. Ada berbagai hal yang bisa dilakukan untuk mencegah dampak buruk dari tsunami.

“Di tengah bencana pun, kita juga perlu yakin bahwa ada lampu di tengah kegelapan,” tuturnya.

Sebuah inspirasi hadir dari seorang gadis sekolah dasar yang disebut-sebut “angel of beach”. Ketika sedang berada di pantai bersama keluarganya di Thailand dan menyadari air laut surut, ia menceritakan apa yang diingatnya dari pelajaran sekolah bahwa itu adalah tanda-tanda tsunami. Akhirnya mereka dapat menyelamatkan diri dari tsunami Aceh.

Ma’rufin menjelaskan hal-hal yang dapat dilakukan seseorang saat tsunami yaitu: 1) Abaikan harta benda, evakuasi segera; 2) Berlari tanpa menggunakan kendaraan; 3) Jangan menyeberang sungai atau jembatan; 4) Pergi ke arah pohon, bangunan tinggi, atau bukit; 5) Benda yang terapung adalah pelampung penyelamat, pegang itu sampai menemukan tempat lebih aman; 6) Melajulah ke laut jika sedang berada di tengah laut, jangan ke darat.

Pada tsunami 2006 di Aceh, 2010 di Mentawai, serta 2018 di Palu, para pengamat juga mempelajari bahwa bangunan-bangunan yang umumnya digunakan sebagai menara air bisa menjadi menara penyelamat. Ini dikarenakan bangunan tersebut disangga pilar beton yang menjadikannya tidak mudah runtuh. Pemateri menunjukkan salah satu dokumentasi gambar, “Ini rumahnya hancur lebur, tapi pilar tempat air masih bertahan,” katanya.

Secara umum, perlu ada upaya pemahaman soal mitigasi tsunami. Di antaranya: pemberdayaan budaya di Indonesia untuk mengenal fenomena tsunami, pelapisan pantai dengan sabuk hijau yaitu barisan pepohonan yang melebar pada baris tertentu, pengenalan peta risiko dan evakuasi tsunami melalui kegiatan-kegiatan publik, serta pemanfaatan bangunan masjid sebagai tempat evakuasi sementara maupun akhir.

Mengenai budaya-budaya Indonesia, Ma’rufin menunjukkan beberapa contoh, misalnya daerah Simeulue memiliki tradisi lisan “Smong” yang berisi cerita soal tsunami. Budaya itu menyelamatkan warga ketika tsunami Aceh. Selain itu, terdapat cerita soal Ratu Kidul di masyarakat Jawa, Teteu di Mentawai, atau Nalodo di Palu.

Ma’rufin juga mengingatkan pentingnya sosialisasi peta potensi gempa atau bencana. Peta tidak akan bermakna kalau tidak diimplementasikan di lapangan, seperti Google Maps kalau nggak ada penanda di lapangan, bakal useless. Pengadaan tulisan atau keterangan tertentu di suatu lokasi akan bisa membantu.

Di antara yang bisa dilakukan ialah pengadaan kegiatan-kegiatan kreatif dengan memanfaatkan peringatan tertentu. Ia memberikan contoh, gerak jalan dilakukan pada daerah yang memiliki tanda peta risiko akan menambah pemahaman yang lebih baik. Dengan begitu, warga akan menyadari bahwa mereka hidup di zona rawan bencana, sehingga tergerak untuk mengetahui cara mitigasinya.

“Jangan khawatir gempa, jangan khawatir tsunami. Kita pasti bisa mengatasinya,” katanya. (*)

 Wartawan: Ahimsa W Swadeshi
Editor: Heru Prasetya

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow

Paling Banyak Dilihat