Buya Syafii dan Azyumardi Azra Bicara Muhammadiyah dan Politik Indonesia
YOGYA – Menyambut Hari Ulang Tahun (HUT) ke-76 Republik Indonesia, Suara Muhammadiyah TV mengadakan kegiatan Obrolan Cendekia “Muhammadiyah dan Kemerdekaan Indonesia” Senin (16/8). Dua pembicara yang dihadirkan adalah Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif (Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta) dan Prof. Dr. H. Azyumardi Azra (Guru Besar UIN Syarif Hidayatulah Jakarta).
Kegiatan ini berbentuk dialog, moderator menyampaikan pertanyaan-pertanyaan yang direspon pembicara secara bergantian. Supaya tidak membingungkan penyebutan, sapaan “Buya” digunakan untuk Buya Syafi’i, sedangkan Buya Azra disapa Prof. Azra.
Buya Syafi’i pertama-tama ditanyai mengenai tulisannya yang baru saja terbit pagi itu di Harian Kompas berjudul “Mengenang Soekarno, Mengenang Hatta”. Ia kemudian bercerita mengenai betapa berbedanya kedua tokoh tersebut. Soekarno adalah orang yang suka berpidato dan membuat pendengarnya khidmat menyimak, sedangkan Hatta seorang yang tenang, dingin,kritis, dan lebih suka menulis.
“Semua pemimpin itu pasti ada titik lemahnya,” tutur Buya.
Perbedaan Soekarno-Hatta tidak menghapus fakta bahwa mereka bisa bersahabat. Bahkan Soekarno adalah orang yang berperan melamarkan Rahmi untuk dinikahkan dengan Hatta. Meskipun membahas keduanya seolah mengorek luka lama, tapi menurut Buya, mengenang Soekarno-Hatta mengajak kita belajar kembali tentang keduanya.
Bagaimana kiprah Muhammadiyah untuk mengisi kemerdekaan?
“Kemerdekaan kita perlu diberi semangat lagi,” kata Prof. Azra. Menurutnya, ada banyak fenomena di negara kita yang tidak sesuai semangat kemerdekaan. Pemerintah yang seharusnya melindungi rakyat dan tanah air, kini patut dipertanyakan dengan semakin tingginya angka kemiskinan di negara ini.
Pandemi ini mungkin menjadi ujian bagi bangsa Indonesia.Tapi anehnya, menurut Prof. Azra, ketika warga negara sendiri dilarang bepergian mudik, pemerintah membolehkan warga asing keluar masuk negara ini seenaknya. Ia juga mencontohkan beberapa persoalan lain yang muncul di tengah pandemi, salah satunya masyarakat yang kesulitan mengakses perangkat dan jaringan internet untuk sekolah.
Muhammadiyah hadir di tengah-tengah kesulitan bangsa dengan amal usaha dan program-programnya. Terakhir sempat diinformasikan Muhammadiyah telah mengeluarkan lebih dari 1 trilyun rupiah untuk menangani pandemi Covid-19. Juga terbantunya masalah sosial dengan adanya Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC).
Buya Syafii sangat menyetujui pendapat Prof. Azra bahwa Muhammadiyah dengan amal usahanya telah banyak membantu bangsa ini. Namun, ia juga membuka diskusi lain, “Setelah 100 tahun usianya, apa Muhammadiiyah hanya akan membantu? Atau juga ditambah?” Pertanyaan ini mengarah kepada Muhammadiyah yang belum banyak memiliki peran strategis dalam penentuan kebijakan negara.
Kalau Muhammadiyah hanya terpaku pada amal usahanya artinya sama saja tidak maju-maju. Bukan berarti organisasi ini perlu menjadi partai politik, melainkan bagaimana Muhammadiyah melahirkan pribadi-pribadi yang punya wawasan luas dan berjiwa lapang untuk turut terlibat memberi arah pada negara ini. Ia memberikan pesan pada kader Muhammadiyah, “Harus banyak membaca, banyak bergaul, dan lapang dada”.
Ia menyinggung supaya kader Muhammadiyah tidak terjebak pada pemikiran-pemikiran arabisasi yang terjebak memahami ajaran agama sebagai aturan memakai pakaian-pakaian kearab-araban. Warga Muhammadiyah dari pimpinan wilayah hingga pimpinan ranting, perlu sepenuhnya sadar bahwa mereka adalah muslim yang hidup di Indonesia.
Bagaimana peran Muhammadiyah secara global?
Prof. Azra sangat optimis melihat pemikiran Islam berkemajuan dan Islam wasathiyah yang terbangun di Muhammadiyah. Pentingnya menjadi muslim yang tidak hanya menerima teks Al Qur’an dan Hadits secara harfiah, namun berusaha memaknai. Islam perlu memiliki orientasi masa depan, termasuk bisa berpadu dengan ilmu dan teknologi.
Pendirian UMAM menjadi sebuah langkah bagus. “Ini bisa menjadi lokus bagi pengembangan Islam berkemajuan di Malaysia,” terang Prof. Azra. Nilai-nilai egaliter yang mengakar kuat di Muhammadiyah dapat ditularkan ke Malaysia. Selainitu, keberadaan perguruan tinggi ini harusnya menghentikan mental underdog yang sering menjangkiti masyarakat Indonesia yang sering merasa tersaingi negara tetangga itu.
Bagaimana peran politik Muhammadiyah di negara ini?
“Muhammadiyah memang bukan dirancang untuk mengurus negara. Tapi mengurus bangsa,” kata Buya Syafii. Sehingga masuk akal ketika Muhammadiyah masuk ke poltik malah jadi gagap. Meskibegitu di abad kedua ini, Buya melihat pentingnya Muhammadiyah untuk menyiapkan kader-kadernya bukan semata-mata menjadi politisi, tapi memiliki kualitas yang dibutuhkan bangsa.
Sedangkan Azra berpendapat, selama ini banyak aktivis Muhammadiyah di politik kurang taktis. Bila masuk partai politik, hanya terlibat di partai yang kurang signifikan dan kecil prospeknya. Muhammadiyah belum sampai pada “under represented” di kancah politik sehingga beberapa waktu terakhir ini terasa tidak berimbang dan terwakili suaranya.
“Bangsa ini perlu orang-orang patriot, yang lapang dada, paham makna Islam di Indonesia,” tegas Busya Syafii Maarif. (*)
Wartawan: Ahimsa
Editor: Heru Prasetya
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow