Buya Syafii dan Peran Sosial di Kampung: Catatan Lapangan
Heru Prasetya
Sekitar tahun 1998 saya memanggilnya dengan singkat: Pak Syafii. Guru Bangsa yang dipanggil Allah hari Jum’at 27 Mei 2022 itu tidak mempersoalkan tentang panggilan. Nama lengkapnya Ahmad Syafii Maarif dengan beberapa gelar di depan maupun di belakang.
“Oke. Besok di kampus ya. Jam 09.00.” Kira-kira seperti itu jawaban Pak Syafii menanggapi permintaan wawancara melalui telepon. Kampus yang dimaksud adalah IKIP Karangmalang, Yogyakarta, yang kini berubah menjadi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Di kampus itulah laki-laki kelahiran 31 Mei 1935 di Nagari Calau, Sumpur Kudus, Minangkabau ini mendarmabaktikan ilmunya.
“Heru. Apa kabar?” Hampir seperti itu kalimat pertama yang diucapkan ketika ketemu. Pun saat wawancara. Ketika itu sekitar tahun 1998 saya melaksanakan tugas redaktur untuk melakukan wawancara dengan Pak Syafii tentang Muhammadiyah, dunia Islam, dan sekitar politik nasional yang memang sedang mengharu-biru.
Pelontaran pendapatnya seperti mesin diesel. Butuh proses beberapa saat untuk menjadi panas. Dari pendapat satu dua kata di awal, kemudian tak lagi terbendung keluarnya pemikiran brilian. Saya sebagai wartawan tinggal “menuai hasil”: taruh recorder dan sesekali menyela dengan pertanyaan untuk menukikkan pendapatnya.
Selain kampus, Masjid Nogotirto adalah tempat favorit Pak Syafii menerima tamu (termasuk wartawan). Biasanya waktu yang diberikan adalah bakda salat subuh atau usai salat maghrib. Rumahnya memang hanya berseberangan gang dengan masjid tersebut. Nah, jika wawancara di masjid, biasanya ada jama’ah yang ikut nimbrung. Suasana jadi tambah hidup.
Kebetulan saya pindah kontrakan di Perumahan Nogotirto II, sekompleks dengan Pak Syafii. Jika dia di selatan masjid, saya dari masjid masih ke utara 100-an meter.
Ketika saya mengenalkan diri ke orang lain, hampir pasti pertanyaan orang itu adalah, “Dekat dong dengan rumah Buya?” Maksud kata “buya” adalah Pak Syafii Maarif. Sehingga merasa beruntung tinggal tak jauh dari rumah Guru Bangsa.
Beberapa tahun kemudian, saya pindah rumah di Jalan Mojo Nogotirto, sebelah selatan sekitar 200 meter dari kompleks perumahan Pak Syafii. Tak sengaja ketemu lagi dengannya di ruas jalan tanah depan rumah. Ia mengenakan training dan kaos: sedang jogging.
“Heru, sekarang tinggal disini? Lama ya kita tidak ketemu.” Sekitar tahun 2005, suaranya tetap segar dan jelas. Sejak itu hampir setiap pagi saya keluar rumah, menunggu siapa tahu Sang Guru Bangsa lewat ketika jogging. Hasilnya: kadang ketemu, kadang tidak.
“Ababiel.” Suara Pak Syafii terdengar jelas dari dalam rumah. Saya bergegas keluar rumah dan menjumpainya masih berdiri di luar rumah saya. “Ini warungmu ya?” Ketika itu saya memang membuka warung sembako “Warung Ababiel”. Nama anak kedua saya adalah Ababiel. “Bagus itu,” katanya setelah mendengarkan penjelasan saya.
Pak Syafii tidak pernah membedakan kasta dalam bergaul di masyarakat. Seukuran Guru Bangsa yang pernah menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah, menyapa dengan hangat kepada saya yang “hanya” jamaah Muhammadiyah di tingkat ranting. Hal ini juga sering disampaikan beberapa tetangga yang sering disapa, atau bahkan diajak ngobrol, oleh Pak Syafii.
Baca juga: Ketua PWM DIY: Jadikan Buya Syafii sebagai Tauladan Gerak Persyarikatan
Di masjid pun, Pak Syafii sering-seringnya menjadi makmum. Ia mempersilakan orang lain disitu sebagai imam salat. Belakangan, sebelum sakit dan dibawa ke RS PKU Muhammadiyah Gamping, salat Pak Syafii dibantu dengan kursi. “Lutut saya yang tidak kuat,” katanya suatu saat ketika saya menanyakan perihal itu.
Peran sosialnya juga tak lagi bisa dihitung dengan jari. Baik permohonan dana melalui proposal atau sekadar chat WA. “Insya Allah.” Jawabnya selalu singkat, kemudian bertanya nomor rekening. Jumlah yang kemudian dikirim termasuk besar untuk kami di tingkat desa. Bahkan, jika ada tetangga atau sahabat yang sedang kesulitan keuangan, Pak Syafii dengan ringan membantu.
“Biar syar’i ini pakai perjanjian ya. Agar kita sama-sama ingat.” Saya ingat betul kata-kata Pak Syafii ini ketika ikut “mengentaskan” tetangganya dari masalah, karena saya termasuk salah satu yang dibantu. Dan, semua bisa berjalan sesuai kesepakatan.
Ketika kami di Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Nogotirto meresmikan Gedung Dakwah Nogotirto (GDN) tahun 2017, Pak Syafii hadir. Ia bersama Pak Haedar (Ketua Umum PP Muhammadiyah) memberikan kata sambutan. “Datang ke SM ya. Kita bantu komputer dan printer. Temui Mas Denny,” katanyanya. Maksud SM adalah Suara Muhammadiyah.
Guru Bangsa yang rendah hati dan baik budi itu kini telah pergi menemui Sang Khaliq. Selamat jalan Pak Syafii. Selamat jalan Buya. Selamat jalan Guru Bangsa. (*)
Penulis adalah Pemimpin Redaksi mediamu.com dan Ketua PRM Nogotirto
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow