MediaMU.COM

MediaMU.COM

Portal Islam Dinamis Berkemajuan

May 3, 2024
Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Chusnul Hayati Kupas Peran “Hijrah” Perempuan dalam Sejarah Kemerdekaan

Dr. Hj. Chusnul Hayati. Foto: Ahimsa/mediamu.com

YOGYA – Ayat 20 Surah At Taubah menjadi pembuka materi Dr. Hj. Chusnul Hayati ketika mengupas sejarah peran perempuan dalam kemerdekaan. Ini disampaikan dalam Pengajian Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah bertema “Spirit Hijrah Mewujdukan Cita-cita Kemerdekaan”, Jum’at (13/8) malam.

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. H. Haedar Nashir, M.Si. memberikan kata pengantar. Dua pembicara lain adalah Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Dr. Hj. Chusnul Hayati dan Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif. Pernyataan mereka ada di berita terpisah mediamu.com.

“Insya Allah kita termasuk orang-orang yang berhijrah, akan mendapatkan kemenangan, dan selalu dalam lindungan Allah SWT,” tutur Chusnul menarik maksud Ayat 20 Surah AtTaubah.

Wakil Ketua Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah (PWA) Jawa Tengah ini Chusnul mengawali dengan bercerita mengenai salah satu perang besar di akhir abad ke-19, yakni Perang Aceh. Perang melawan kolonialisme paling panjang dan paling banyak melibatkan tokoh-tokoh perempuan.

Bahkan, katanya, seorang penulis asal Belanda menggambarkan para perempuan itu sebagai grandes dames (perempuan besar), yakni memiliki peran penting dalam politik dan peperangan. Beberapa tokoh yang tampil dalam perjuangan di Aceh antara lain Tjut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, Pocut Baren, dan Pocut Meurah Intan.

Pada awal abad 20, perjuangan perempuan semakin kuat karena ada semangat melepaskan dari belenggu jahiliyah. Misalnya, feodalisme, kolonialisme, otoritarianisme, kawin paksa, poligami, kekerasan terhadap perempuan, adat dipingit, dan lain-lain.

Menurut Chusnul, “hijrah”-nya perempuan ini didorong beberapa hal.

Pertama, mulai terlibatnya para perempuan dalam pergerakan nasional.
Kedua, adanya keinginan maju dalam diri perempuan. Berbeda dengan emansipasi Barat, emansipasi di Indonesia adalah keinginan untuk maju dalam pendidikan.
Ketiga, adanya dorongan untuk menjadikan kedudukan laki-laki dan perempuan sederajat tanpa arogansi.
Keempat, keinginan untuk meningkatkan martabat perempuan yang pada saat itu masih sering diremehkan dan dianggap lebih rendah dari laki-laki.
Kelima, dorongan untuk memperluas peran perempuan supaya tidak hanya terbatas dalam peran domestik (dapur, sumur, kasur).

Menurut perempuan yang juga dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) di Universitas Diponegoro (Undip) Semarang ini, umumnya corak pergerakan perempuan di awal abad XX diwarnai perjuangan memperbaiki peran perempuan dalam keluarga dan memperluas kecakapan melalui pendidikan. Gerakan-gerakan ini sifatnya tidak menyerang laki-laki. Mayoritas pelopornya memiliki latar belakang pendidikan Barat dan berada di ekonomi kelas atas.

Perkembangan gerakan perempuan itu terjadi secara perlahan dan dapat dijelaskan dalam beberapa tahap. Yakni, mulai tumbuhnya kesadaran akan pentingnya pendidikan, sebagaimana di zaman Kartini yang banyak menulis surat dan Syeikhah Rahmah yang berhasil mendirikan sekolah khusus perempuan. Tahap kedua menunjukkan banyak perempuan mulai bergabung ke dalam perkumpulan.

Tahap ketiga, perkembangannya begitu masif karena mulai munculnya surat kabar yang memudahkan berbagi informasi. Pada masa ini juga, Suara ‘Aisyiyah (SA) mulai dirintis. Tahap keempat mulai kuatnya organisasi-organisasi yang mewadahi kaum perempuan termasuk pada tanggal 22-25 Desember 1928 diadakan Kongres Perempuan Pertama Indonesia yang tidak terlepas dari keterlibatan tokoh-tokoh ‘Aisyiyah.

Bahkan, meskipun bangsa Indonesia sudah diproklamasikan merdeka, perjuangan perempuan tidak lantas habis. Perjuangan lain dalam dunia politik dan pertahanan keamanan negara juga turut melibatkan peran perempuan. Contoh-contoh hasilnya adalah didapatkannya hak perempuan memilih anggota dewan dan diterimanya penolakan wajib militer. Hari ini pun, perjuangan untuk perempuan masih terus berlanjut.

Kemudian Chusnul melemparkan pertanyaan, “Untuk melakukan hijrah, perempuan harus punya modal apa?” Menurutnya, yang utama sebagai perempuan ‘Aisyiyah, berpegang pada teologi QS Al Ma’un agar terus mau berjuang. Perempuan juga perlu potensi yang harus terus diasah, yakni potensi diri, ekonomi, dan kemampuan berinovasi. (*)

Wartawan: Ahimsa
Editor: Heru Prasetya

Comment

Your email address will not be published

There are no comments here yet
Be the first to comment here