Disertasi Farid Ini Mengupas Kepemimpinan Ki Bagus dan Bung Karno

Disertasi Farid Ini Mengupas Kepemimpinan Ki Bagus dan Bung Karno

Smallest Font
Largest Font

BANTUL – Muhammadiyah kembali melahirkan akademisi dengan gelar doktor. Senin siang (27/9), Dr. Farid Setiawan, M.Pd.I. menyelesaikan sidang promosi doktor di Program Psikologi Pendidikan Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Ia adalah Sekretaris Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) PWM DIY. Disertasinya mengangkat judul “Karakter Kepemimpinan Menurut Ki Bagus Hadikusuma dan Sukarno”.

Tujuan penelitian tersebut adalah: Pertama, mengupas pemikiran Ki Bagus dan Sukarno mengenai karakter kepemimpinan; dan Kedua, mendiskusikan tipologi atau model kepemimpinan dua tokoh tersebut. Kesemuanya ditilik menggunakan perspektif psikologi. Dua tokoh bangsa yang disebut oleh Farid sebagai pemimpin sukses ini dipilih bukan tanpa alasan.

Advertisement
Scroll To Continue with Content

“Kedua tokoh tersebut adalah representasi kondisi kita saat ini,” tutur peneliti yang juga mengajar di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) kepada mediamu.com.

Ki Bagus dikenal sebagai tokoh berbasis nasionalis-Islam, Sukarno mewakili kelompok nasionalis sekuler. Jika dilihat, saat ini dengan mudahnya kita sering kembali terjebak dalam perdebatan soal Islam dan nasionalisme.

“Disertasi ini ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa dua tokoh ini sebenarnya berasal dari latar belakang berbeda, awalnya mereka juga berkonflik dan bersitegang,” jelas laki-laki kelahiran 1982 ini. Namun, atas nama persatuan bangsa mereka dapat meninggalkan sekat-sekat primordialisme dan egosentrisme masing-masing.

Dalam penelitian, Farid menggunakan beberapa teori, yakni teori kepemimpinan, teori orang besar, serta teori konstruksi sosial. Dengan mengacu pada “Metodologi Sejarah” Kuntowijoyo, ia mengolah beberapa sumber data primer dan sekunder. Sumber primer itu adalah karya-karya yang ditulis Ki Bagus dan Sukarno. Sedangkan sumber sekunder terdiri atas buku, artikel jurnal, penelitian lain, maupun sumber elektronik yang otoritatif mengupas kedua tokoh bangsa itu.

Sumber-sumber data tersebut dibaca dan dipahami untuk kemudian diklasifikasikan berdasarkan pokok bahasan. Selanjutnya, peneliti melakukan kritik sumber data intern dan ekstern. Kritik intern merupakan telaah materi dalam sumber sejarah dan relevansinya dengan tema penelitian, sedangkan kritik ekstern menelaah keadaan fisik sumber data tersebut. Usai itu, peneliti mulai menganalisis data dengan merujuk pada hermeneutika Gadamer.

Setelah semua proses tersebut, penelitian menyimpulkan dua hal.

Pertama, bahwa pemikiran dua pahlawan nasional tersebut tentang karakter kepemimpinan ternyata memiliki lebih banyak perbedaan daripada persamaan. Sebagai sosok idealis, Ki Bagus cenderung menekankan pada konsep moral-religius yang bersumber dari wahyu ilaahi. Dalam kajian psikologi, ini masuk ke dalam psycho-prophetic leadership.

Namun, Farid menegaskan bahwa Ki Bagus tidak berorientasi pada pendirian negara Islam. Cita-citanya terletak pada perwujudan masyarakat yang sejahtera, aman, dan damai dengan berprinsip pada keadilan, kejujuran, persaudaraan, dan gotong-royong. Oleh karenanya, pemimpin sejati menurutnya memprioritaskan perbaikan akhlak (budi pekerti) manusia dengan menempatkan iman, Islam, dan ihsan sebagai pilar aktivitasnya.

Sedangkan, pemikiran kepemimpinan ala Sukarno lebih terlihat mengusung paradigma rasionalis-politis. Sosok pemimpin harus progresif-revolusioner, tidak cukup memiliki visi jangka panjang, juga harus setia pada garis ideologi perjuangan revolusi. Dalam kajian psikologi, pemikiran tokoh yang cenderung realistis ini tergolong dalam psycho-political leadership.

Farid dalam kesimpulannya menambahkan pandangan presiden pertama Indonesia itu soal kepemimpinan, “Pemimpin progresif-revolusioner mampu mengubah mentalitas masyarakat agar menjadi bangsa yang berdaulat secara politik, berdikari dalam bidang ekonomi, berbudaya sesuai kepribadian bangsa Indonesia, dan juga melawan kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme.”

Kedua, mengenai model kepemimpinan dua tokoh bangsa ini dinilai sama-sama kharismatik lewat cara masing-masing. Ki Bagus kental akan gaya demokratis yang tampak pada kebiasaaannya untuk bermusyawarah yang disokong oleh model komunikasi dua arah. Farid pun menuliskan, “Ki Bagus juga selalu memegang teguh setiap hasil keputusan rapat, dan tidak suka mementingkan dirinya sendiri, apalagi ingin menang sendiri.”

Lain lagi Sukarno, ia memiliki gaya karismatik-otoriter dimana pesona kepemimpinan memang masih begitu awet dirasakan sampai saat ini. Selain disebabkan perannya sebagai Presiden Pertama dan Proklamator RI, Sukarno dengan kecerdasannya mampu meramu kata-kata baik dalam tulisan maupun lisan yang secara canggih dapat menggugah empati dan emosi para pendengarnya.

Bagaimanapun perbedaan dua tokoh tersebut, terdapat kesamaan juga yang tercermin pada pribadi keduanya, yaitu bahwa baik Ki Bagus maupun Sukarno selalu berusaha menggalang persatuan bagi seluruh elemen anak bangsa. Termasuk pada proses perumusan Pancasila, dua tokoh yang meskipun sempat bersitegang ini pada akhirnya mampu berdialog dan bersepakat memutuskan Pancasila sebagai dasar negara.

“Para pendiri bangsa kita sudah memberikan contoh dengan kemantapan hati untuk menjadikan Pancasila sebagai darul ahdi. Maka, di saat sekarang ini ada orang yang mencoba membenturkan kembali antara Islam dengan nasionalisme, seperti kemunduran berpikir,” tegasnya.

Diskusi tersebut, tambah Farid, sudah selesai saat didirikannya negara ini. Tugas anak bangsa saat ini ialah memikirkan bagaimana cara mengisi kemerdekaan.

Farid juga mengungkapkan beberapa harapan penelitian lanjutan. Pertama, perlu ada riset lebih dalam mengenai pendidikan karakter ala Ki Bagus yang berfokus pada pengembangan individu dan sosial. Kedua, para peneliti bisa mengeksplorasi pemikiran Ki Bagus mengenai metode-metode pendidikan seperti metode berbasis kelas maupun boarding. Ia meyakini boarding mampu mendidik siswa lewat budaya pembiasaan.

Ketiga, pendidikan karakter juga dapat dibentuk dalam masyarakat. Dalam konteks ini, Ki Bagus lebih menempatkan peran masjid sebagai pilar untuk sosialisasi begitu juga pengajian-pengajian. Keempat, pendidikan karakter yang berbasis pada keluarga. Nilai-nilai keislaman, kesederhaan, kepedulian sosial, dan kemandirian juga ditumbuhkan di sini.

“Harapannya, pemikiran Ki Bagus yang luar biasa tersebut dapat menjadi alternatif dalam pembangunan pendidikan Indonesia,” tutur Farid.

Selama ini, pendidikan karakter lebih banyak mengambil referensi dari Barat. Ini bukan tidak boleh, namun masyarakat Indonesia juga memiliki nilai-nilai sendiri yang bisa digali dari tokoh-tokoh bangsanya. (*)

 Wartawan: Ahimsa W Swadeshi
Editor: Heru Prasetya

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow

Paling Banyak Dilihat