Ekspedisi MuseumMu Goes to Sumbar
PARIAMAN — Menjadi perempuan itu istimewa. Sikap dan bahasanya luwes. Pemikirannya lembut dan cara berkomunikasi pun lebih bisa diterima. Karenanya, menyenangkan banyak perempuan kehadirannya memberi warna. Seperti Widiyastuti, cicit KH Ahmad Dahlan.
Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, beberapa waktu lalu mulai melakukan perjalanan ke luar daerah dalam rangka mendirikan Museum Muhammadiyah.
Kita ketahui, Pimpinan Pusat Muhammadiyah mendapat tugas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Republik Indonesia untuk membangun Museum Muhammadiyah seluas 2.000 meter persegi dengan lima lantai di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta. Biaya pembangunan museum itu berasal dari pemerintah, sedangkan isinya dari Muhammadiyah.
Beberapa museum yang dikunjungi memberikan inspirasi. “Kita ingin membangun museum secara on the track. Dalam waktu satu tahun kita harapkan selesaikan pembangunannya,” kata Hj Widiyastuti, SS, M.Hum, yang menambahkan tahun 2019 akan diresmikan.
Sebelumnya, tim Museum Muhammadiyah dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah bersama Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) Pimpinan Pusat Muhammadiyah melakukan workshop museum content management ke sejumlah museum.
Perjalanan Wakil Ketua Bidang Museum dan Kearsipan, Hj. Widiyastuti, dimulai dari masjid sejarah Muhammadiyah di Pariaman, yang didirikan tahun 1929.
Masjid ini bersebelahan dengan surau dagang yang dulunya menjadi tempat berkumpul para pedagang saat hari pasaran di Pariaman. “Dari sinilah paham Muhammadiyah berkembang ke Pariaman dan Sumatera Barat,” terang Widiyastuti, yang akrab disapa Wiwied ini.
Perjalanan itu kemudian dilanjutkan mengunjungi tiga tempat yang menjadi saksi perjuangan tiga orang ulama besar Pariaman: Buya Oedin, Buya SDM Ilyas dan Buya Kasim Munafi.
Di tempat inilah, menurut Widiyastuti, relasi dengan Buya Hamka sering terjadi. “Karena memang mereka sangat sering berkumpul untuk berdiskusi tentang agama dan Muhammadiyah,” terang Widiyastuti.
Satu fakta menarik ditemukan Widiyastuti di tempat ini. Ternyata, yang menikahkan Soekarno dengan Fatmawati adalah Buya Oedin, ketika beliau berada di Bengkulu. Kemudian, perjalanan Widiyastuti berlanjut ke Ponpes Prof Hamka. Dan perjalanan menuju lokasi tersebut sangat elok dan heroik. “Namun begitu sampai kita berasa berada di peradaban baru,” kelakar Widiyastuti.
Perjalanan berlanjut ke Museum Buya Hamka yang merupakan tempat kelahiran beliau. Sebelumnya, Widiyastuti sempat mampir ke surau kecil yang selalu menjadi jujugan (tujuan) Buya Hamka. “Di museum ini, kita mendengar banyak hal tentang Buya Hamka,” tandas Widiyastuti, yang berdoa mudah-mudahan salah satu tongkat beliau bisa menjadi koleksi MuseumMu.
Perjalanan diakhiri dengan mengunjungi makam, mushola dan rumah Buya Tuo atau Haji Rasul ayah Buya Hamka. Di tempat di tepi Sungai Maninjau ini, kembali Widiyastuti dicengangkan dengan koleksi buku karya beliau yang masih dalam tulisan tangan Arab-Melayu, yang tersimpan rapi dalam perpustamaan beliau.
“Alhamdulillah, perjalanan saya sangat banyak yang kita dapatkan untuk memperkaya narasi MuseumMu yang akan dirumuskan,” tandas Widiyastuti, yang tetap semangat meski capai.
Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah melakukan penyusunan rencana pembangunan Museum Muhammadiyah, baik dari sisi bangunan maupun konten yang akan menjadi isian museum.
Museum Muhammadiyah diharapkan akan menjadi museum yang layak untuk dikunjungi, baik sebagai wahana edukasi dan rekreasi. Namun juga sebagai pusat riset tentang dinamika gerak persyarikatan Muhammadiyah. (Affan)
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow