Fatwa Penutupan Masjid, Fathurrahman Kamal: Kedepankan Maslahat dan Jauhi Mafsadat

Fatwa Penutupan Masjid, Fathurrahman Kamal: Kedepankan Maslahat dan Jauhi Mafsadat

Smallest Font
Largest Font

YOGYAKARTA — Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, H. Fathurrahman Kamal, L.c, M.Si., menyampaikan pembahasan “Fatwa Ulama Dunia tentang Penutupan Masjid” dalam engajian umum PP Muhammadiyah “’Idul Adha dalam Masa Pandemi”, Jum’at (9/7).

Fathurrahman mengatakan, ketika otoritas fatwa dunia internasional mengeluarkan berbagai macam panduan, fatwa,  dan pandangan-pandangan keagamaan, perlu dipahami bahwa hakikat turunnya agama Islam adalah mengedepankan maslahat dan menjauhkan dari mafsadat. Dua ayat yang menjadi otoritas fatwa, yakni dalam Al Qur’an Surah Al Baqarah ayat 114 dan Surah At Taubah ayat 18.

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Dalam surah Al-Baqarah disebutkan, “Dan siapakah yang lebih aniaya dari orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu sepatutnya tidak patut masuk ke dalam masjid, kecuali dengan rasa (takut kepada Allah).”

Adapun dalam Surah At Taubah, “Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang yang beriman kepada Allah di hari kemudian, serta tetap mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapapun) selain Allah, maka merekalah termasuk orang-orang yang diharapkan termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Ia memberikan pembahasan tentang Buku Kompilasi Fatwa Ulama di Dunia. Sebagaimana dijelaskan Prof. Dr. Mas’ud Shofri, tujuan mengkompilasi fatwa ialah ingin memotret ijtihad umat Islam kontemporer, mendokumentasikan dinamika sejarah tentang adanya fatwa di kalangan para fuqoha’, mengatakan bahwa peristiwa extraordinary seperti Covid-19 ini menjadi nuansa tersendiri bagi umat Islam, serta memberi ruang untuk kajian yang bersifat akademik.

Kelompok ulama pertama adalah yang membolehkan menonaktifkan kegiatan berjamaah di masjid, seperti sholat berjamaah secara rutin. Namun tetap berpandangan bahwa syiar agama perlu dikumandangkan, persis seperti yang dikatakan Majelis Tarjih bahwa jika shalat Jum’at tidak bisa dilaksanakan,  maka boleh sholat Dhuhur empat rakaat di rumah masing-masing.

Pendapat tersebut merupakan kelompok ulama dari dua belas lembaga, yakni dewan ulama senior di Al-Azhar, dewan ulama senior di Arab Saudi, persatuan ulama Islam sedunia, majelis fatwa dan pengkajian Islam di Eropa, majelis ilmiah tertinggi di Maroko, komite kementrian fatwa di Al-Jazair, lembaga fatwa di Kuwait, majelis fatwa di Emirat Arab, dewan ulama fiqh senior dan fatwa di Irak, komite fatwa Yordania, komite fatwa dalam negeri di Palestina, dan sejumlah dewan guru besar di fakultas syariah.

Kelompok ulama kedua berpendapat bahwa wajib dilakukan shalat Jum’at di masjid. Mereka mengatakan, jika dalam keadaan seperti masa Covid-19 shalat Jum’at tidak dilakukan secara normal, setidaknya ada sejumlah orang yang melakukan shalat Jum’at untuk memberikan suatu pesan bahwa  masjid tidak ditutup sama sekali.

Ada sebuah pendapat menarik dari kelompok kedua, jadi orang-orang yang mendapat rukhsoh adalah orang-orang yang sakit. Argumentasi mereka yaitu jika ada keputusan otoritas dari negara bahwa jika shalat Jum’at akan mengakibatkan tersebarnya virus, maka masjid tidak bisa dibuka begitu saja. Kelompok ulama ini termasuk kalangan ahli fiqh, diantaranya adalah Syeikh Muhammad Hasan dan Syeikh Salim (dewan fatwa Eropa).

Kelompok ketiga adalah mereka yang berpendapat shalat Jum’at adalah wajib. Pendapat ini sama sekali tidak direpresentasikan lembaga-lembaga atau otoritas fatwa secara formal, namun lebih pada pandangan individual, di antaranya yang berpandangan adalah dewan hakim Kuwait.

“Jika ada keputusan yang resmi dikeluarkan oleh otoritas, bagi masyarakat wajib mengikuti. Fatwa adalah produk ijtihad manusia, jadi walaupun ada kesalahan, fatwa tidak boleh saling membatalkan, tidak boleh saling mendeligitimasi. Para ulama juga saling menghormati pendapat (ihtiromu jihad). Tidak ada kepentingan antarmereka, tidak menjadikan ketiga pendapat tersebut sebagai teori konspirasi. Mereka murni berbicara tentang hukum, tidak ada unsur politik,” tegas Fathurrahman. (*)


Kontributor: Afifatur Rasyidah I.N.A
Editor: Sucipto

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow