Film sebagai Alat Dakwah dan Bisnis Menurut Hanung Bramantyo
YOGYA – Film seolah memiliki tempat tersendiri di hati setiap orang. Sebelum pandemi, gedung-gedung bioskop selalu menjadi salah satu pilihan utama untuk berwisata bersama teman atau keluarga. Pada masa pandemi pun bioskop-bioskop online menjadi alternatif.
Sutradara Hanung Bramantyo membahas tema “Antara Dakwah dan Bisnis Lewat Film” dalam kajian rutin JSM Morning Talk yang diselenggarakan Jaringan Saudagar Muhammadiyah (JSM) DIY, Rabu (9/2).
Hanung mengawali materinya dengan mengatakan, film memiliki kemampuan menyulap atau mempengaruhi cara berpikir manusia. Kalau ditarik ke belakang, awal munculnya film dari kolaborasi teknokrat dengan seniman atau tukang sulap.
Pada dasarnya film memiliki tiga prinsip, yaitu kamera dan perekam suara, proses editing dan penambahan musik, serta sebuah cerita atau pesan yang ingin disampaikan.
Karena salah satu unsur utama film adalah kamera, maka munculnya film tidak terlepas dari sejarah munculnya kamera yang dimulai penemu dasar fotografi. Ia bernama Ibnu Al-Haytam yang akrab dikenal sebagai Bapak Lensa atau Bapak Optik. Ia menemukan prinsip dasar kamera.
Fotografer Inggris bernama Edward Muybrigde pada tahun 1830 mengembangkan konsep itu menjadi alat yang disebut phenakistoscope. Alat ini menjadi asal muasal gambar bergerak dan kamera film karena dapat menangkat sebanyak 24 gambar dalam satu detik.
Penemuan itu menginspirasi Thomas Alfa Edison di Amerika menciptakan kamera bergerak yang kemudian juga berkembang menjadi kamera-kamera seperti saat ini. Waktu itu, ada banyak ilmuwan lain yang juga melakukan pengembangan-pengembangan.
Salah satunya adalah Lumiere bersaudara, yakni Auguste Lumiere dan Louis Lumiere, dari Perancis. Mereka membuat kamera mirip dengan Edison namun berukuran lebih kecil sehingga praktis dibawa kemana-mana. Dengan itu, mulailah ada perkembangan film dokumenter.
Mereka pertama kali menunjukkan hasil temuan itu di Paris’s Salon Indien du Grand Café pada 28 Desember 1895 dan berhasil membuat kehebohan. Ketika film menayangkan kereta api yang berjalan, lantas orang-orang reflek berlari karena takut tertabrak.
Hanung mengatakan, “Film dipercaya mampu menciptakan wow factor.” Penonton dapat terkagum-kagum, bahkan juga mempengaruhi secara psikologis. Hal ini yang selanjutnya dilihat sebagai potensi oleh seorang pemilik theater Robert-Houdin di Paris, George Melies.
Ia mengajak Lumiere bersaudara untuk berkolaborasi menyajikan seni dan teknologi. Dari situ kemudian lahirlah The Lucky Dog Picturehouse yang menggunakan trik-trik dalam karyanya. Mereka juga sempat memproduksi film tentang perjalanan ke bulan, bahkan sebelum Neil Armstrong melakukan.
Dari pemikiran George Melies, Hanung menyampaikan bahwa hakikat film sebagai sebuah seni ternyata mampu menampilkan trik ilusi, merangsang imajinasi penonton, serta menciptakan wow effect. Oleh karena itu, film bukan menampilkan realitas sebenarnya dan bersifat sangat subjektif.
Ia kemudian menyebutkan beberapa film luar negeri maupun dalam negeri. Termasuk film-film dakwah seperti The Message (Turki) dan Muhammad, The Message of God (Iran). Hanung kembali bernostalgia atas capaian film Sang Pencerah (2010) yang menghabiskan biaya Rp 10 milyar dan menghasilkan omset Rp 55 milyar.
Karya baru Hanung seperti Bumi Manusia menjadi referensi kolaborasi seni dan teknologi. Terinspirasi dari Universal Studios di Amerika, ia juga mengembangkan Studio Alam Gamplong dimana berbagai setting untuk shooting video dapat dikerjakan menggunakan teknologi.
“Muhammadiyah memiliki cerita-cerita heroik yang luar biasa,” tutur Hanung. Itu merupakan potensi yang bisa dikerjakan dengan memanfaatkan bioskop, YouTube, WeTV, dan sebagainya. (*)
Wartawan: Ahimsa W. Swadeshi
Editor: Heru Prasetya
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow