Forum Diskusi Bisnis BPR: Kebijakan Konsolidasi BPR-BPRS Perlu Ditinjau Ulang
JAKARTA - Kebijakan konsolidasi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) dalam satu kepemilikan atau pemegang saham pengendali (PSP) yang sama, sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 7 Tahun 2024, menuai kritik tajam. Ketentuan yang mengharuskan penggabungan atau peleburan BPR/BPRS di wilayah pulau atau kepulauan utama ini dianggap tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan berpotensi memperlakukan pelaku usaha secara tidak adil.
Kritik tersebut mengemuka dalam Seminar Konsolidasi dan Pengaruh Bisnis BPR terhadap UMKM yang diadakan oleh PT Nusantara Bona Pasogit (NBP) di Hotel Discovery Ancol, Jakarta, pada 28–30 November 2024. Seminar tersebut menghadirkan pembicara dari berbagai latar belakang, seperti Direktur Utama *Infobank* Eko B. Supriyanto, ekonom Prof. Edy Suandi Hamid, dan Presiden Direktur PT NBP Hendi Apriliyanto. Acara ini juga dihadiri oleh direksi dan komisaris dari 34 BPR yang bernaung di bawah PT NBP.
Kritik terhadap Kebijakan Konsolidasi
Kebijakan konsolidasi yang dikenal sebagai Single Presence Policy (SPP) ini mengharuskan pelaksanaannya dalam waktu dua tahun bagi BPR/BPRS non-BUMD, dan tiga tahun bagi yang dimiliki pemerintah daerah. Namun, menurut Presiden Direktur PT NBP Hendi Apriliyanto, perintah tersebut tidak tercantum dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK). "UU PPSK hanya memberikan kewenangan untuk menggabungkan atau melebur BPR/BPRS yang mengalami kesulitan membahayakan kelangsungan usahanya," ujar Hendi.
Hal serupa disampaikan oleh Eko B. Supriyanto, yang mengkritisi kebijakan ini sebagai langkah yang diambil tanpa kajian mendalam. “Penggabungan BPR/BPRS dalam satu kepemilikan ibarat *perkawinan sedarah* yang berpotensi menimbulkan masalah. Keberadaan BPR sangat penting untuk mendukung UMKM, yang menyumbang lebih dari 60% pelaku ekonomi Indonesia, meskipun kontribusi kreditnya terhadap PDB baru mencapai 7%, jauh di bawah negara lain,” papar Eko.
Peran Strategis BPR/BPRS untuk UMKM
Eko menyoroti peran penting BPR/BPRS bagi pengembangan UMKM, meskipun lembaga ini menghadapi tantangan seperti keterbatasan modal, tata kelola, disparitas usaha, serta infrastruktur layanan. Menurutnya, BPR masih diharapkan menjadi tulang punggung pembiayaan UMKM di Indonesia.
Kebijakan yang Dinilai Tidak Adil
Ekonom Prof. Edy Suandi Hamid menilai kebijakan konsolidasi ini sebagai langkah yang tidak adil dan cenderung mengabaikan prinsip diversifikasi usaha. “Pemilik modal mendirikan beberapa perusahaan untuk mendiversifikasi risiko, sesuai prinsip kehati-hatian dalam bisnis. Jika BPR/BPRS sudah berjalan baik, mengapa dipaksa merger? Jika alasannya adalah sulitnya pengawasan, OJK seharusnya memperbaiki mekanisme pengawasannya, bukan memaksa penggabungan,” tegas Edy.
Menurut Prof. Edy, Indonesia membutuhkan banyak lembaga keuangan formal yang menjangkau hingga pelosok untuk mencegah masyarakat terjebak dalam jeratan lembaga keuangan ilegal seperti rentenir. "Kebijakan ini hanya relevan jika diterapkan pada BPR/BPRS yang bermasalah atau tidak mampu memenuhi persyaratan permodalan," imbuhnya.
Menghormati Keberagaman Ekosistem Keuangan
Sebagai pengamat yang telah mendalami keuangan pedesaan sejak 40 tahun lalu, Prof. Edy mengingatkan pentingnya menjaga keberagaman lembaga keuangan untuk mendukung perekonomian daerah. Ia menilai bahwa kebijakan seperti ini hanya akan efektif jika dilakukan berdasarkan analisis komprehensif, dengan tetap menghormati kondisi masing-masing lembaga keuangan.
Harapan untuk Revisi Kebijakan
Seminar ini menegaskan pentingnya mempertimbangkan ulang kebijakan konsolidasi yang diterapkan OJK. Peserta seminar sepakat bahwa kebijakan yang lebih adaptif dan berdasar pada prinsip-prinsip kehati-hatian akan lebih mendukung stabilitas sektor keuangan, sekaligus memperkuat peran BPR/BPRS sebagai mitra UMKM di Indonesia.
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow