Hajriyanto dan Tri Hastuti Berbagi Pengalaman pada Opening SA Institute
YOGYA – Suara ‘Aisyiyah Institute adalah salah satu kegiatan media Suara ‘Aisyiyah (SA) untuk mendorong budaya literasi dan mewadahi minat menulis bagi perempuan muslimah. Pada Sabtu (14/8), Opening Session SA Institute diadakan melalui teleconference yang menghadirkan lebih dari 240 peserta dari berbagai daerah, umumnya merupakan kader ‘Aisyiyah.
Pembicara pada kegiatan ini adalah Drs. Hajriyanto Y. Thohari, MA (Duta Besar Luar Biasa Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Lebanon) dan Dr. Tri Hastuti Nur Rochimah, S.Sos, M.Si. (Dewan Redaksi SA). Keduanya mengupas “Melintas Batas dengan Produktif Menulis”.
Kegiatan diawali dengan sambutan Pemimpin Perusahaan SA, Khusnul Hidayah, S.E., M.Si.Akt. Selanjutnya, dibuka oleh Dra. Susilaningsih Kuntowijoyo, M.A., Ketua Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah (PPA) yang membidangi SA, sekaligus memberikan kata pengantar.
Hajriyanto menyuguhkan kalimat dari Bahasa Latin Verba Volant Scripta Manent (kata-kata lisan akan terbang, sedang tulisan akan menetap atau permanen). Kekuatan tulisan adalah ide dan gagasan akan menyebar luas. Khotbah dan pidato berhenti saat disampaikan, tapi tulisan akan terus abadi.
Awalnya, Hajriyanto mengaku tidak terlalu produktif menulis. Tapi laki-laki pernah berkuliah di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada (UGM) ini sudah tertarik menulis sejak mahasiswa. Ia mengikuti lomba-lomba dan sering memasukkan tulisannya ke media massa, seperti koran Masa Kini, Kedaultan Rakyat, dan Suara Merdeka. Bahkan ketika menjadi dosen di Universitas Diponegoro tahun 1985-1998, menulis di Kompas.
Salah satu pengalamannya yang berkesan adalah saat memenangkan juara 1 lomba menulis tingkat nasional dan internasional yang dilaksanakan Majalah Sarinah bekerja sama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan serta Menko Bidang Kesejahteraan Rakyat sekitar tahun 1984. Lomba itu diikuti ribuan mahasiswa dari seluruh Indonesia.
“Mengapa yang ikut banyak? Karena hadiahnya itu adalah naik haji gratis,” terangnya. Ia pun diberangkatkan haji bersama para pejabat saat itu.
Hajriyanto mengaku, kesukaannya menulis tidak terlepas dari peran ayahnya yang dulu suka sekali mengoleksi buku, membaca kitab, serta berlangganan koran. Hobi itu rupanya menular padanya. “Dari kegemaran membaca itulah kemudian bisa menulis,” katanya. Ayahnya dulu Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Karanganyar.
Itulah mengapa salah satu simpulan materinya, “Read a lot, write a lot!” Semakin banyak membaca, akan semakin terasah kemampuan seseorang untuk menulis. Selain itu, menulis membutuhkan kerja keras, kreativitas, serta inovasi. Materi ditutup dengan kutipan Kuntowijoyo soal syarat menjadi penulis yang terdiri dari tiga hal, yakni menulis, menulis, dan menulis.
Tri Hastuti membahas “Perspektif Perempuan dalam Media”. Pengajar di Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ini mengawali materi dengan bercerita mengenai temuan-temuannya dalam riset soal kelompok marginal khususnya perempuan.
Salah satunya ialah riset di Solo tahun 1990-an berjudul “Masih dalam Posisi Pinggiran” yang mengupas mengenai peran perempuan dalam kegiatan bermasyarakat. Berdasarkan data yang ia jadikan referensi, sekilas terlihat jumlah perempuan yang terlibat dalam forum-forum masyarakat sudah termasuk tinggi. Namun ketika dilihat di lapangan, perempuan tidak menempati peran-peran strategis dan tetap ada di posisi pinggiran.
Ia juga menyebutkan tulisannya yang lain berjudul “Wacana Tubuh Perempuan dalam Media”. Ini adalah buku dari disertasinya. Banyak lagi riset dan tulisan yang ia hasilkan mengenai isu perempuan khususnya yang muncul di media.
Dari sana ia menarik beberapa fakta bahwa ternyata masih minim kesadaran jurnalis atas perspektif gender. Beberapa media masih memproduksi berita dengan menempatkan perempuan sebagai objek yang hanya disorot tubuh dan kecantikannya, bukan prestasinya.
Tri Hastuti kemudian menunjukkan bahwa saat ini terdapat peluang dan tantangan bagi media-media yang ingin memperjuangkan isu perempuan. Peluang tersebut antara lain adanya perkembangan teknologi yang memudahkan perempuan bersuara serta kebijakan pemerintah dan dunia internasional yang mulai sadar gender. Di samping itu, terdapat tantangan berupa wacana Islam literal yang masih mendominasi media serta masih minimnya influencer perempuan yang punya pandangan Islam wasathiyah.
Ia mengingatkan kembali visi gerakan ‘Aisyiyah abad ke-2 yang bercita-cita menjadi media insan pelaku perubahan untuk mewujudkan peradaban yang cerah dan mencerahkan. Salah satu bentuk nyatanya adalah dengan mendorong kesetaraan laki-laki dan perempuan serta memberikan keleluasaan bagi perempuan di ruang publik.
Tri Hastuti juga mengenalkan istilah cyberfeminism dan “Dakwah bil Teknoreligion” yakni bagaimana para perempuan dapat memanfaatkan media sosial untuk membangun mainstream baru yang lebih ramah gender. Suara ‘Aisyiyah menjadi salah satu contohnya, selain media lain yang juga disebutkan yakni Magdalene.co, Perempuan Berkisah, Diskusi Perempuan Islam, mubadalah.id, rahma.id, dan masih banyak lagi.
Sebelum penutupan, Susilaningsih ikut berbagikisah sang suami. “Pak Kunto (almarhum Prof. Dr. Kuntowijoyo, M.A., suaminya) dapet ide menulis itu anytime,” tuturnya. Bahkan sering ketika akan tidur, suaminya buru-buru bangun mencari sobekan kertas atau apapun yang bisa ia gunakan untuk mencatat ide atau gagasan yang melintas di kepala. (*)
Wartawan: Ahimsa
Editor: Heru Prasetya
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow