Pidato Kebangsaan Pak Haedar: Nasihat untuk Anak Bangsa
-
- Oleh Haedar Nashir
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah -
Indonesia Moderat
Kemerdekaan yang melahirkan Negara Republik Indonesia saat ini berdiri tegak di atas fondasi kokoh Pancasila. Soekarno memosisikan Pancasila sebagai “philosophische grondslag” atau “Weltanschauung” yaitu sebagai “fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.”
Pancasila yang perumusannya mengalami proses dinamis sejak Pidato Soekarno 1 Juni 1945, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, dan rumusan final 18 Agustus 1945 merupakan konsensus nasional dari seluruh golongan bangsa Indonesia yang berlatar belakang majemuk menjadi Bhinneka Tunggal Ika. Menurut sejarawan Furnivall (2009) bangsa majemuk pada dasarnya non-komplementer laksana “air dan minyak”. Tetapi bangsa Indonesia yang majemuk itu dapat bersatu karena ada nilai yang mempersatukan yaitu Pancasila (Nasikun, 1984).
Konsensus seluruh komponen bangsa untuk menerima Pancasila sebagai dasar negara dihasilkan dari jiwa kenegarawanan para pendiri negara. Peran krusial Ki Bagus Hadikusumo bersama tokoh Islam lain dalam konsensus yang bersejarah itu sanarahgatlah besar, dengan kesediaan melepas “tujuh kata”
Piagam Jakarta dikonversi menjadi sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Menurut Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara, itulah “hadiah terbesar dari umat Islam”. Muhammadiyah memandang konsensus Pancasila dan berdirinya negara Indonesia yang bersejarah itu sebagai “Negara Pancasila Darul Ahdi Wasyahadah”.
Pancasila sebagai titik temu dari kemajemukan terjadi selain atas jiwa kenegarawanan para tokoh bangsa melalui proses musyawarah-mufakat, secara substansial di dalamnya terkandung ideologi tengahan atau moderat. Ketika Soekarno menawarkan lima sila dari Pancasila dalam sidang BPUPKI tergambar kuat pemikiran moderat atau “jalan tengah”.
Mengenai “nasionalisme” atau “kebangsaan” Soekarno menegaskan, “Kita mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia” di atas dasar kebangsaan, tetapi disadari pula bahaya nasionalisme. … Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme, sehingga berfaham “Indonesia uber Alles”. Bung Karno lantas mengingatkan, “Tuan-tuan, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang terbagus dan termulia, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia… menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.”
Mengenai sila kedua internasionalisme, Soekarno pun mengingatkan, “Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud kosmopolitanisme, yang tidak mau adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika, dan lain-lainnya. Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman-sarinya internasionalisme.”
Tentang sila “mufakat” atau “kerakyatan”, Soekarno menyatakan, “Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu
orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara „semua buat semua”, “satu buat semua, semua buat satu”. Saya yakin syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan perwakilan.“. Menurut Bung Karno, “Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.”
Demikian halnya tentang sila “kesejahteraan”, prinsipnya: “tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka.”. Soekarno bertanya retorik, “Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyat sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang-pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, saudara-saudara? Jangan saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat, di negara-negara Eropah adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire democracy. Tetapi tidakkah di Eropah justru kaum kapitalis merajalela?”
Mengenai sila Ketuhanan, Soekarno dengan tegas menyatakan: “Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri….Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan!”.
Pemikiran Soekarno tentang Pancasila itu sangatlah moderat. Karenanya Pancasila maupun Negara Republik Indonesia jangan ditarik “ke kanan” dan “ke kiri”, tetapi letakkanlah di posisi tengah agar tetap menjadi rujukan bersama kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada posisi moderat itulah Pancasila tidak boleh ditafsirkan dan diimplementasikan dengan pandangan-pandangan
“radikal-ekstrem” apapun, karena akan bertentangan dengan hakikat Pancasila itu sendiri.
Pikiran-pikiran nasionalisme yang radikal-ekstrem (ultranasionalisme, chauvinisme), keagamaan yang radikal-ektrem (cita-cita negara agama atau teokrasi, fundamentalisme agama), multikulturalisme radikal-ekstrem (paham demokrasi, hak asasi manusia, pluralisme, dan toleransi liberal-sekular), sosial-demoktasi, dan segala ideologi radikal-elstrem lainnya seperti komunisme dan liberalisme-sekularisme tidaklah sejalan dengan Pancasila yang berwatak-dasar moderat.
Jika ingin menjalankan Pancasila yang moderat, maka strategi membangun dan mengembangkan pemikiran keindonesiaan pun semestinya menempuh jalan moderat atau moderasi, bukan melalui pendekatan kontra-radikal atau deradikalisasi yang ekstrem. Kontroversial seputar Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), Survei Lingkungan Belajar (SLB), lomba pidato tentang hukum menghormat bendera, dan pemikiran-pemikiran pro-kontra lainnya mesti dihindari jika ingin meletakkan Pancasila bersama tiga pilar lainnya yaitu NKRI, UUD 1945, dan Kebhinnekaan sebagai ideologi jalan tengah yang moderat.
Segala paham radikal-ekstrem tidaklah sejalan dengan Pancasila. Menghadapi paham radikal-ekstrem pun tidak semestinya dengan cara yang radikal-esktrem, karena selain akan melahirkan radikal-ekstrem baru pada saat yang sama bertentangan dengan jiwa Pancasila. Pikiran-pikiran “loyalis” maupun “kritis” yang hidup di tubuh bangsa Indonesia seyogyanya mengandung pikiran dan cara-cara yang moderat atau jalan tengah serta tidak berparadigma radikal-ekstrem. Inilah jiwa dan karakter Indonesia berdasarkan Pancasila yang moderat, Indonesia Jalan Tengah!
Indonesia Milik Semua
Ernest Renang tahun 1882 menulis, “…bangsa (nation) itu ialah suatu solidaritas besar, yang terbentuk karena adanya
kesadaran, bahwa orang telah berkorban banyak, dan bersedia untuk memberi korban itu lagi…yakni persetujuan, keinginan yang dinyatakan secara tegas untuk melanjutkan hidup bersama (le desir de vivre ensemble)…”. Menurut filsuf Perancis yang menjadi rujukan para pendiri bangsa Indonesia seperti Soekarno, Mr, Soenarjo, Mr Mohammad Yamin, bahwa “asas kebangsaan (nasionalitas) itu berbeda dengan ass ras” (Renan, terj.Soenario, 1994).
Indonesia sebagai negara-bangsa (nation-state) merupakan jalan tengah atau moderasi dari segala proses dan keragaman. Menurut Anthony Reid (2018), “Indonesia menjadi titik temu persatuan nasional seluruh rakyat Indonesia dari berbagai golongan sebagai era baru yang di era Nusantara berpencar dan menjadi entitas sendiri-sendiri yang tidak mengarah ke persatuan.”
Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945 menegaskan, bahwa “Kita hendak mendirikan suatu negara semua buat semua”. Mohammad Hatta menegaskan pentingnya “kolektivisme” dalam berbangsa dan bernegara. Dari Dwi-Tunggal pemimpin Indonesia itu maupun dari para pendiri negara yang lainnya kuat sekali kehendak untuk menjadikan Indonesia milik bersama seluruh rakyat Indonesia. Jiwa Gotong-royong mendasari bangunan Indonesia dalam seluruh aspek kehidupan agar tidak ada oligarki politik, oligarki ekonomi, dan oligarki lainnya yang merusak kebersamaan dan menjadikan Indonesia hanya milik sekelompok kecil pihak.
Menurut Mohammad Hatta, ketika para pemimpin rakyat duduk di BPUPKI merumuskan UUD 1945, khususnya dalam bidang ekonomi terkandung cita-cita “untuk mencapai kemakmuran yang merata”, sebagaimana termaktub dalam pasal 33 UUD 1945, yang melahirkan sistem “ekonomi terpimpin”. Ditegasksn, “Dalam sistem ekonomi terpimpin, pemerintah harus bertindak, supaya tercapai suatu penghidupan sosial yang lebih baik. Penghidupan sosial itu harus berdasarkan keadilan sosial.” (Hatta, 2015).
Di tengah keresahan melebarnya kesenjangan sosial, bumi dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh segelintir pihak, dan menguatnya oligarki politik maka Indonesia harus dikembalikan kepada jati dirinya sebagai milik semua. Pemerintah negara wajib hadir dalam melindungi seluruh rakyat dan tumpah darah Indonesia, serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Di negeri ini tidak semestinya berkembang “siapa yang kuat, yang menang” dan menguasai Indonesia dalam hukum Darwinian. Manakala hal itu terjadi maka Indonesia dapat terpapar “radikalisme-esktrem” bentuk lain, yang tentu saja tidak sejalan dengan Pancasila. Indonesia wajib hukumnya untuk menjadi milik semua!
Karenanya jiwa Bhinneka Tunggal Ika penting terus digelorakan, bukan hanya untuk menumbuhkembangkan sikap bersaudara dalam kemajemukan SARA, tetapi juga menegakkan kebersamaan secara politik dan ekonomi. Tujuannya agar tercipta Persatuan Indonesia dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kami percaya masih banyak anak bangsa termasuk para pejabat negara, politisi, dan pengusaha yang berjiwa luhur untuk terciptanya Indonesia milik bersama!
Pengharapan
Ketika Indonesia merayakan kemerdekaan ke-76 dengan segala masalah, tantangan, ancaman, dan peluang yang dihadapi diharapkan pemerintah dan seluruh komponen bangsa menyatukan jiwa, pikiran, dan langkah menuju terwujudnya cita-cita Indonesia merdeka yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Jalan masih panjang dan terjal menuju Indonesia yang diidamkan itu. Keragaman pandangan dan segala bentuk pengelompokkan tidak semestinya membuat Indonesia retak dan terpecah-belah. Di sinilah pentingnya jiwa kenegarawanan seluruh elite dan warga bangsa untuk membawa Indonesia menuju negeri idaman.
Kami percaya masih banyak elite dan warga bangsa yang berhati tulus, baik, jujur, dan terpercaya dalam berbangsa dan bernegara. Bila masih terdapat saudara-saudara sebangsa yang salah dan khilaf, serta memiliki kehendak yang berlebihan dalam kekuasaan politik dan ekonomi maupun orientasi hidup lainnya, maka masih terbuka jalan kebaikan yang dibukakan Tuhan untuk kembali ke jalan terang dan tercerahkan. Kuncinya ialah kemauan, ketulusan, kejujuran, dan kebersamaan dalam berbangsa dan bernegara milik semua. Luruhkan ego diri, kroni, institusi, dan golongan dengan mengedepankan kepentingan bangsa dan negara demi masa depan Indonesia yang dicita-citakan para pendiri negara.
Ketika bertumbuh gagasan dan kehendak yang berkaitan dengan hajat hidup bangsa dan negara maka berdirilah dalam posisi tengahan dan jauhi jalan ekstrem. Tempuhlah musyawarah untuk mufakat, serta hindari sikap mau menang sendiri. Tumbuhkan jiwa dan alam pikiran ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial sebagaimana terkandung dalam falsafah Pancasila yang harus diwujudkan di bumi nyata dengan keteladanan. Pancasila yang berkarakter tengahan dan bukan Pancasila yang diradikal-ekstremkan.
Ketika kini tumbuh kembali gagasan amandemen UUD 1945, seyogyanya dipikirkan dengan hikmah-kebijaksanaan yang berjiwa kenegarawanan autentik. Belajarlah dari empat kali amandemen di awal reformasi, yang mengandung sejumlah kebaikan, tetapi menyisakan masalah lain yang membuat Indonesia kehilangan sebagian jati dirinya yang aseli. Jangan sampai di balik gagasan amandemen ini menguat kepentingan-kepentingan pragmatis jangka pendek yang dapat menambah berat kehidupan bangsa, menyalahi spirit reformasi 1998, serta lebih krusial lagi bertentangan dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945 yang dirancang-bangun dan ditetapkan para pendiri negeri 76 tahun yang silam. Di sinilah pentingnya “hikmah kebijaksanaan” para elite negeri di dalam dan di luar pemerintahan dalam membawa bahtera Indonesia menuju pantai idaman. Indonesia yang bukan sekadar ragad-fisik, tetapi menurut Mr. Soepomo, Indonesia yang “bernyawa”. Itulah Indonesia Jalan Tengah dan Indonesia Milik Bersama!
- Oleh Haedar Nashir
Oleh Haedar Nashir
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Judul “Pidato Kebangsaan” yang diselenggarakan oleh Universitas Muhammadiyah Malang bekerjasama dengan beberapa PTM, yakni Universitas Ahmad Dahlan, Universitas Muhammadiyah Makassar, Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara dan para pihak pada tanggal 30 Agustus 2021 ini ialah “#IndonesiaJalanTengah, IndonesiaMilikBersama”. Diksi yang dipakai menggunakan narasi hastag atau tagar dalam literasi media sosial. Harapan utamanya agar sebanyak mungkin para elite dan warga bangsa dapat menjadikan kedua isu penting tersebut sebagai masalah bersama untuk menjadi rujukan bersama!
Ketika bangsa Indonesia memperingati 76 tahun kemerdekaan, di tubuh negeri ini masih terdapat sejumlah masalah kebangsaan. Antara lain suasana keterbelahan sesama anak bangsa, masalah “radikalisme-ekstremisme” yang pro-kontra dalam pandangan dan penyikapan, korupsi dan perlakuan terhadap koruptor yang dianggap memanjakan, praktik demokrasi transaksional, kesenjangan sosial, menguatnya oligarki politik dan ekonomi, kehadiran media sosial yang memproduksi persoalan-persoalan baru, masalah utang luar negeri dan investasi asing, serta kehidupan kebangsaan yang semakin bebas atau liberal setelah dua dasawarsa reformasi. Secara khusus tentu masalah pandemi Covid-19 dengan segala dampaknya yang menambah masalah kebangsaan semakin berat.
Narasi atas masalah-masalah bangsa tersebut tentu tidak mengurangi apresiasi atas kemajuan-kemajuan yang telah dicapai dalam kehidupan kebangsaan dari periode ke periode. Ketika menghadapi masalah-masalah besar tersebut maupun dalam menilai capaian kemajuan, berkembang keragaman pandangan dan orientasi sikap sesuai sudut pandang dan posisi setiap pihak di negeri ini. Pada situasi yang krusial inilah maka diperlukan refleksi semua pihak bagaimana mengelola perbedaan-perbedaan itu untuk ditemukan titik temu dalam spirit Persatuan Indonesia demi keutuhan dan kelangsungan hidup Indonesia.
Indonesia Moderat
Kemerdekaan yang melahirkan Negara Republik Indonesia saat ini berdiri tegak di atas fondasi kokoh Pancasila. Soekarno memosisikan Pancasila sebagai “philosophische grondslag” atau “Weltanschauung” yaitu sebagai “fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.”
Pancasila yang perumusannya mengalami proses dinamis sejak Pidato Soekarno 1 Juni 1945, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, dan rumusan final 18 Agustus 1945 merupakan konsensus nasional dari seluruh golongan bangsa Indonesia yang berlatar belakang majemuk menjadi Bhinneka Tunggal Ika. Menurut sejarawan Furnivall (2009) bangsa majemuk pada dasarnya non-komplementer laksana “air dan minyak”. Tetapi bangsa Indonesia yang majemuk itu dapat bersatu karena ada nilai yang mempersatukan yaitu Pancasila (Nasikun, 1984).
Konsensus seluruh komponen bangsa untuk menerima Pancasila sebagai dasar negara dihasilkan dari jiwa kenegarawanan para pendiri negara. Peran krusial Ki Bagus Hadikusumo bersama tokoh Islam lain dalam konsensus yang bersejarah itu sanarahgatlah besar, dengan kesediaan melepas “tujuh kata”
Piagam Jakarta dikonversi menjadi sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Menurut Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara, itulah “hadiah terbesar dari umat Islam”. Muhammadiyah memandang konsensus Pancasila dan berdirinya negara Indonesia yang bersejarah itu sebagai “Negara Pancasila Darul Ahdi Wasyahadah”.
Pancasila sebagai titik temu dari kemajemukan terjadi selain atas jiwa kenegarawanan para tokoh bangsa melalui proses musyawarah-mufakat, secara substansial di dalamnya terkandung ideologi tengahan atau moderat. Ketika Soekarno menawarkan lima sila dari Pancasila dalam sidang BPUPKI tergambar kuat pemikiran moderat atau “jalan tengah”.
Mengenai “nasionalisme” atau “kebangsaan” Soekarno menegaskan, “Kita mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia” di atas dasar kebangsaan, tetapi disadari pula bahaya nasionalisme. … Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme, sehingga berfaham “Indonesia uber Alles”. Bung Karno lantas mengingatkan, “Tuan-tuan, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang terbagus dan termulia, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia… menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.”
Mengenai sila kedua internasionalisme, Soekarno pun mengingatkan, “Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud kosmopolitanisme, yang tidak mau adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika, dan lain-lainnya. Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman-sarinya internasionalisme.”
Tentang sila “mufakat” atau “kerakyatan”, Soekarno menyatakan, “Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu
orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara „semua buat semua”, “satu buat semua, semua buat satu”. Saya yakin syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan perwakilan.“. Menurut Bung Karno, “Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.”
Demikian halnya tentang sila “kesejahteraan”, prinsipnya: “tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka.”. Soekarno bertanya retorik, “Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyat sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang-pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, saudara-saudara? Jangan saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat, di negara-negara Eropah adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire democracy. Tetapi tidakkah di Eropah justru kaum kapitalis merajalela?”
Mengenai sila Ketuhanan, Soekarno dengan tegas menyatakan: “Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri….Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan!”.
Pemikiran Soekarno tentang Pancasila itu sangatlah moderat. Karenanya Pancasila maupun Negara Republik Indonesia jangan ditarik “ke kanan” dan “ke kiri”, tetapi letakkanlah di posisi tengah agar tetap menjadi rujukan bersama kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada posisi moderat itulah Pancasila tidak boleh ditafsirkan dan diimplementasikan dengan pandangan-pandangan
“radikal-ekstrem” apapun, karena akan bertentangan dengan hakikat Pancasila itu sendiri.
Pikiran-pikiran nasionalisme yang radikal-ekstrem (ultranasionalisme, chauvinisme), keagamaan yang radikal-ektrem (cita-cita negara agama atau teokrasi, fundamentalisme agama), multikulturalisme radikal-ekstrem (paham demokrasi, hak asasi manusia, pluralisme, dan toleransi liberal-sekular), sosial-demoktasi, dan segala ideologi radikal-elstrem lainnya seperti komunisme dan liberalisme-sekularisme tidaklah sejalan dengan Pancasila yang berwatak-dasar moderat.
Jika ingin menjalankan Pancasila yang moderat, maka strategi membangun dan mengembangkan pemikiran keindonesiaan pun semestinya menempuh jalan moderat atau moderasi, bukan melalui pendekatan kontra-radikal atau deradikalisasi yang ekstrem. Kontroversial seputar Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), Survei Lingkungan Belajar (SLB), lomba pidato tentang hukum menghormat bendera, dan pemikiran-pemikiran pro-kontra lainnya mesti dihindari jika ingin meletakkan Pancasila bersama tiga pilar lainnya yaitu NKRI, UUD 1945, dan Kebhinnekaan sebagai ideologi jalan tengah yang moderat.
Segala paham radikal-ekstrem tidaklah sejalan dengan Pancasila. Menghadapi paham radikal-ekstrem pun tidak semestinya dengan cara yang radikal-esktrem, karena selain akan melahirkan radikal-ekstrem baru pada saat yang sama bertentangan dengan jiwa Pancasila. Pikiran-pikiran “loyalis” maupun “kritis” yang hidup di tubuh bangsa Indonesia seyogyanya mengandung pikiran dan cara-cara yang moderat atau jalan tengah serta tidak berparadigma radikal-ekstrem. Inilah jiwa dan karakter Indonesia berdasarkan Pancasila yang moderat, Indonesia Jalan Tengah!
Indonesia Milik Semua
Ernest Renang tahun 1882 menulis, “…bangsa (nation) itu ialah suatu solidaritas besar, yang terbentuk karena adanya
kesadaran, bahwa orang telah berkorban banyak, dan bersedia untuk memberi korban itu lagi…yakni persetujuan, keinginan yang dinyatakan secara tegas untuk melanjutkan hidup bersama (le desir de vivre ensemble)…”. Menurut filsuf Perancis yang menjadi rujukan para pendiri bangsa Indonesia seperti Soekarno, Mr, Soenarjo, Mr Mohammad Yamin, bahwa “asas kebangsaan (nasionalitas) itu berbeda dengan ass ras” (Renan, terj.Soenario, 1994).
Indonesia sebagai negara-bangsa (nation-state) merupakan jalan tengah atau moderasi dari segala proses dan keragaman. Menurut Anthony Reid (2018), “Indonesia menjadi titik temu persatuan nasional seluruh rakyat Indonesia dari berbagai golongan sebagai era baru yang di era Nusantara berpencar dan menjadi entitas sendiri-sendiri yang tidak mengarah ke persatuan.”
Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945 menegaskan, bahwa “Kita hendak mendirikan suatu negara semua buat semua”. Mohammad Hatta menegaskan pentingnya “kolektivisme” dalam berbangsa dan bernegara. Dari Dwi-Tunggal pemimpin Indonesia itu maupun dari para pendiri negara yang lainnya kuat sekali kehendak untuk menjadikan Indonesia milik bersama seluruh rakyat Indonesia. Jiwa Gotong-royong mendasari bangunan Indonesia dalam seluruh aspek kehidupan agar tidak ada oligarki politik, oligarki ekonomi, dan oligarki lainnya yang merusak kebersamaan dan menjadikan Indonesia hanya milik sekelompok kecil pihak.
Menurut Mohammad Hatta, ketika para pemimpin rakyat duduk di BPUPKI merumuskan UUD 1945, khususnya dalam bidang ekonomi terkandung cita-cita “untuk mencapai kemakmuran yang merata”, sebagaimana termaktub dalam pasal 33 UUD 1945, yang melahirkan sistem “ekonomi terpimpin”. Ditegasksn, “Dalam sistem ekonomi terpimpin, pemerintah harus bertindak, supaya tercapai suatu penghidupan sosial yang lebih baik. Penghidupan sosial itu harus berdasarkan keadilan sosial.” (Hatta, 2015).
Di tengah keresahan melebarnya kesenjangan sosial, bumi dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh segelintir pihak, dan menguatnya oligarki politik maka Indonesia harus dikembalikan kepada jati dirinya sebagai milik semua. Pemerintah negara wajib hadir dalam melindungi seluruh rakyat dan tumpah darah Indonesia, serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Di negeri ini tidak semestinya berkembang “siapa yang kuat, yang menang” dan menguasai Indonesia dalam hukum Darwinian. Manakala hal itu terjadi maka Indonesia dapat terpapar “radikalisme-esktrem” bentuk lain, yang tentu saja tidak sejalan dengan Pancasila. Indonesia wajib hukumnya untuk menjadi milik semua!
Karenanya jiwa Bhinneka Tunggal Ika penting terus digelorakan, bukan hanya untuk menumbuhkembangkan sikap bersaudara dalam kemajemukan SARA, tetapi juga menegakkan kebersamaan secara politik dan ekonomi. Tujuannya agar tercipta Persatuan Indonesia dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kami percaya masih banyak anak bangsa termasuk para pejabat negara, politisi, dan pengusaha yang berjiwa luhur untuk terciptanya Indonesia milik bersama!
Pengharapan
Ketika Indonesia merayakan kemerdekaan ke-76 dengan segala masalah, tantangan, ancaman, dan peluang yang dihadapi diharapkan pemerintah dan seluruh komponen bangsa menyatukan jiwa, pikiran, dan langkah menuju terwujudnya cita-cita Indonesia merdeka yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Jalan masih panjang dan terjal menuju Indonesia yang diidamkan itu. Keragaman pandangan dan segala bentuk pengelompokkan tidak semestinya membuat Indonesia retak dan terpecah-belah. Di sinilah pentingnya jiwa kenegarawanan seluruh elite dan warga bangsa untuk membawa Indonesia menuju negeri idaman.
Kami percaya masih banyak elite dan warga bangsa yang berhati tulus, baik, jujur, dan terpercaya dalam berbangsa dan bernegara. Bila masih terdapat saudara-saudara sebangsa yang salah dan khilaf, serta memiliki kehendak yang berlebihan dalam kekuasaan politik dan ekonomi maupun orientasi hidup lainnya, maka masih terbuka jalan kebaikan yang dibukakan Tuhan untuk kembali ke jalan terang dan tercerahkan. Kuncinya ialah kemauan, ketulusan, kejujuran, dan kebersamaan dalam berbangsa dan bernegara milik semua. Luruhkan ego diri, kroni, institusi, dan golongan dengan mengedepankan kepentingan bangsa dan negara demi masa depan Indonesia yang dicita-citakan para pendiri negara.
Ketika bertumbuh gagasan dan kehendak yang berkaitan dengan hajat hidup bangsa dan negara maka berdirilah dalam posisi tengahan dan jauhi jalan ekstrem. Tempuhlah musyawarah untuk mufakat, serta hindari sikap mau menang sendiri. Tumbuhkan jiwa dan alam pikiran ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial sebagaimana terkandung dalam falsafah Pancasila yang harus diwujudkan di bumi nyata dengan keteladanan. Pancasila yang berkarakter tengahan dan bukan Pancasila yang diradikal-ekstremkan.
Ketika kini tumbuh kembali gagasan amandemen UUD 1945, seyogyanya dipikirkan dengan hikmah-kebijaksanaan yang berjiwa kenegarawanan autentik. Belajarlah dari empat kali amandemen di awal reformasi, yang mengandung sejumlah kebaikan, tetapi menyisakan masalah lain yang membuat Indonesia kehilangan sebagian jati dirinya yang aseli. Jangan sampai di balik gagasan amandemen ini menguat kepentingan-kepentingan pragmatis jangka pendek yang dapat menambah berat kehidupan bangsa, menyalahi spirit reformasi 1998, serta lebih krusial lagi bertentangan dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945 yang dirancang-bangun dan ditetapkan para pendiri negeri 76 tahun yang silam. Di sinilah pentingnya “hikmah kebijaksanaan” para elite negeri di dalam dan di luar pemerintahan dalam membawa bahtera Indonesia menuju pantai idaman. Indonesia yang bukan sekadar ragad-fisik, tetapi menurut Mr. Soepomo, Indonesia yang “bernyawa”. Itulah Indonesia Jalan Tengah dan Indonesia Milik Bersama!
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow