Oleh Haedar Nashir
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Judul “Pidato Kebangsaan” yang diselenggarakan oleh Universitas Muhammadiyah Malang bekerjasama dengan beberapa PTM, yakni Universitas Ahmad Dahlan, Universitas Muhammadiyah Makassar, Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara dan para pihak pada tanggal 30 Agustus 2021 ini ialah “#IndonesiaJalanTengah, IndonesiaMilikBersama”. Diksi yang dipakai menggunakan narasi hastag atau tagar dalam literasi media sosial. Harapan utamanya agar sebanyak mungkin para elite dan warga bangsa dapat menjadikan kedua isu penting tersebut sebagai masalah bersama untuk menjadi rujukan bersama!
Ketika bangsa Indonesia memperingati 76 tahun kemerdekaan, di tubuh negeri ini masih terdapat sejumlah masalah kebangsaan. Antara lain suasana keterbelahan sesama anak bangsa, masalah “radikalisme-ekstremisme” yang pro-kontra dalam pandangan dan penyikapan, korupsi dan perlakuan terhadap koruptor yang dianggap memanjakan, praktik demokrasi transaksional, kesenjangan sosial, menguatnya oligarki politik dan ekonomi, kehadiran media sosial yang memproduksi persoalan-persoalan baru, masalah utang luar negeri dan investasi asing, serta kehidupan kebangsaan yang semakin bebas atau liberal setelah dua dasawarsa reformasi. Secara khusus tentu masalah pandemi Covid-19 dengan segala dampaknya yang menambah masalah kebangsaan semakin berat.
Narasi atas masalah-masalah bangsa tersebut tentu tidak mengurangi apresiasi atas kemajuan-kemajuan yang telah dicapai dalam kehidupan kebangsaan dari periode ke periode. Ketika menghadapi masalah-masalah besar tersebut maupun dalam menilai capaian kemajuan, berkembang keragaman pandangan dan orientasi sikap sesuai sudut pandang dan posisi setiap pihak di negeri ini. Pada situasi yang krusial inilah maka diperlukan refleksi semua pihak bagaimana mengelola perbedaan-perbedaan itu untuk ditemukan titik temu dalam spirit Persatuan Indonesia demi keutuhan dan kelangsungan hidup Indonesia.
Indonesia Moderat
Kemerdekaan yang melahirkan Negara Republik Indonesia saat ini berdiri tegak di atas fondasi kokoh Pancasila. Soekarno memosisikan Pancasila sebagai “philosophische grondslag” atau “Weltanschauung” yaitu sebagai “fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.”
Pancasila yang perumusannya mengalami proses dinamis sejak Pidato Soekarno 1 Juni 1945, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, dan rumusan final 18 Agustus 1945 merupakan konsensus nasional dari seluruh golongan bangsa Indonesia yang berlatar belakang majemuk menjadi Bhinneka Tunggal Ika. Menurut sejarawan Furnivall (2009) bangsa majemuk pada dasarnya non-komplementer laksana “air dan minyak”. Tetapi bangsa Indonesia yang majemuk itu dapat bersatu karena ada nilai yang mempersatukan yaitu Pancasila (Nasikun, 1984).
Konsensus seluruh komponen bangsa untuk menerima Pancasila sebagai dasar negara dihasilkan dari jiwa kenegarawanan para pendiri negara. Peran krusial Ki Bagus Hadikusumo bersama tokoh Islam lain dalam konsensus yang bersejarah itu sanarahgatlah besar, dengan kesediaan melepas “tujuh kata”
Piagam Jakarta dikonversi menjadi sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Menurut Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara, itulah “hadiah terbesar dari umat Islam”. Muhammadiyah memandang konsensus Pancasila dan berdirinya negara Indonesia yang bersejarah itu sebagai “Negara Pancasila Darul Ahdi Wasyahadah”.
Pancasila sebagai titik temu dari kemajemukan terjadi selain atas jiwa kenegarawanan para tokoh bangsa melalui proses musyawarah-mufakat, secara substansial di dalamnya terkandung ideologi tengahan atau moderat. Ketika Soekarno menawarkan lima sila dari Pancasila dalam sidang BPUPKI tergambar kuat pemikiran moderat atau “jalan tengah”.
Mengenai “nasionalisme” atau “kebangsaan” Soekarno menegaskan, “Kita mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia” di atas dasar kebangsaan, tetapi disadari pula bahaya nasionalisme. … Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme, sehingga berfaham “Indonesia uber Alles”. Bung Karno lantas mengingatkan, “Tuan-tuan, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang terbagus dan termulia, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia… menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.”
Mengenai sila kedua internasionalisme, Soekarno pun mengingatkan, “Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud kosmopolitanisme, yang tidak mau adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika, dan lain-lainnya. Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman-sarinya internasionalisme.”
Tentang sila “mufakat” atau “kerakyatan”, Soekarno menyatakan, “Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu
orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara „semua buat semua”, “satu buat semua, semua buat satu”. Saya yakin syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan perwakilan.“. Menurut Bung Karno, “Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.”
Demikian halnya tentang sila “kesejahteraan”, prinsipnya: “tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka.”. Soekarno bertanya retorik, “Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyat sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang-pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, saudara-saudara? Jangan saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat, di negara-negara Eropah adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire democracy. Tetapi tidakkah di Eropah justru kaum kapitalis merajalela?”
Mengenai sila Ketuhanan, Soekarno dengan tegas menyatakan: “Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri….Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan!”.
Pemikiran Soekarno tentang Pancasila itu sangatlah moderat. Karenanya Pancasila maupun Negara Republik Indonesia jangan ditarik “ke kanan” dan “ke kiri”, tetapi letakkanlah di posisi tengah agar tetap menjadi rujukan bersama kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada posisi moderat itulah Pancasila tidak boleh ditafsirkan dan diimplementasikan dengan pandangan-pandangan
“radikal-ekstrem” apapun, karena akan bertentangan dengan hakikat Pancasila itu sendiri.
Pikiran-pikiran nasionalisme yang radikal-ekstrem (ultranasionalisme, chauvinisme), keagamaan yang radikal-ektrem (cita-cita negara agama atau teokrasi, fundamentalisme agama), multikulturalisme radikal-ekstrem (paham demokrasi, hak asasi manusia, pluralisme, dan toleransi liberal-sekular), sosial-demoktasi, dan segala ideologi radikal-elstrem lainnya seperti komunisme dan liberalisme-sekularisme tidaklah sejalan dengan Pancasila yang berwatak-dasar moderat.
Jika ingin menjalankan Pancasila yang moderat, maka strategi membangun dan mengembangkan pemikiran keindonesiaan pun semestinya menempuh jalan moderat atau moderasi, bukan melalui pendekatan kontra-radikal atau deradikalisasi yang ekstrem. Kontroversial seputar Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), Survei Lingkungan Belajar (SLB), lomba pidato tentang hukum menghormat bendera, dan pemikiran-pemikiran pro-kontra lainnya mesti dihindari jika ingin meletakkan Pancasila bersama tiga pilar lainnya yaitu NKRI, UUD 1945, dan Kebhinnekaan sebagai ideologi jalan tengah yang moderat.
Segala paham radikal-ekstrem tidaklah sejalan dengan Pancasila. Menghadapi paham radikal-ekstrem pun tidak semestinya dengan cara yang radikal-esktrem, karena selain akan melahirkan radikal-ekstrem baru pada saat yang sama bertentangan dengan jiwa Pancasila. Pikiran-pikiran “loyalis” maupun “kritis” yang hidup di tubuh bangsa Indonesia seyogyanya mengandung pikiran dan cara-cara yang moderat atau jalan tengah serta tidak berparadigma radikal-ekstrem. Inilah jiwa dan karakter Indonesia berdasarkan Pancasila yang moderat, Indonesia Jalan Tengah!
Comment