Melihat Semangat Pendidikan Muhammadiyah di Awal Berdiri
YOGYA – “Fresh from the oven,” kata Hj. Widiyastuti, S.S., M.Hum., Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat (MPI PP) Muhammadiyah, ketika mengantarkan Bedah Karya Sejarah Muhammadiyah, Senin (27/9) malam. Narasumber adalah Dr. Farid Setiawan, M.Pd. yang pagi harinya menyelesaikan ujian promosi doktor di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Ungkapan Widiyastuti tadi ditujukan kepada dokter baru tersebut.
Acara bedah karya sejarah diadakan MPI PP setiap Senin sebagai rangkaian Kongres Sejarawan Muhammadiyah yang akan dilangsungkan November 2021. Selain dosen Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Farid Setiawan adalah Sekretaris Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta (PWM DIY).
Sejak dilaksanakan Juli lalu, berbagai karya telah didiskusikan, mulai dari sejarah lokal, persyarikatan dan kebangsaan, hingga kiprah Muhammadiyah dalam lintasan sejarah. Ini adalah malam terakhir diskusi internal, rencananya sisa waktu ke depan akan menghadirkan tokoh-tokoh eksternal yang punya perhatian dan mengadakan riset tentang Muhammadiyah.
Materi yang dikupas Farid bertema “Pendidikan Berkemadjoean: Sejarah Sekolah, Guru, dan Kurikulum Muhammadiyah”, merupakan kupasan kecil dari karya tesisnya di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga tahun 2013. “Semoga ini menjadi langkah awal Muhammadiyah untuk serius bicara tentang sejarah,” kata Widiyastuti.
Farid membuka materi berjudul “Modernisasi Sistem Pendidikan Muhammadiyah 1911-1942” dengan menyampaikan, “Sejarah bukan hanya bicara tentang masa lalu, tapi bagaimana kita menggali dan juga memaknai cerita masa lalu untuk kita saat ini dan yang akan datang.”
Menilai sejarah pendidikan Muhammadiyah, ia mengatakan, organisasi ini menjadi pembaharu pendidikan islam yang tertua.
Sejak memiliki anggaran dasar tahun 1912, Muhammadiyah telah memiliki orientasi menyebarkan agama Islam kepada masyarakat di Yogyakarta serta memajukan agama Islam bagi anggota-anggotanya. Tidak lama setelahnya, terlihat ada perkembangan anggaran dasar ke-3 tahun 1921, menjadi tampak lebih inklusif dan mulai memperluas cakupan orientasinya ke seluruh Hindia Belanda. Itu tampak juga pada perkembangan kuantitas amal usaha dari 169 menjadi 1.790 perguruan, dari 6.474 murid menjadi 87.641, dari 416 guru menjadi 3.797.
Untuk meletakkan pondasi modernisasi, KH Ahmad Dahlan mendirikan empat majelis atau lembaga yang dulu disebut bagian. Yakni Bagian Tabligh, Taman Pustaka, PKO, dan Sekolahan. Mengenai sekolahan, menurut Farid, Muhammadiyah memiliki tiga bentuk pendidikan yaitu pendidikan formal (contohnya madrasah dan sekolah), pendidikan nonformal (contohnya kursus), serta pendidikan informal (yaitu keluarga).
Semangat Muhammadiyah membangun pendidikan saat itu memang begitu tinggi karena ada orientasi untuk memberantas buta aksara. “Tradisi literasi ini sudah mulai dikuatkan sejak awal,” jelas Farid.
Kultur menulis sejak dulu adalah tradisi besar Muhammadiyah. Terdapat tiga pilar bagi gerakan literasi Muhammadiyah yakni antara lain membaca, menulis, serta mendokumentasikan.
KH Ahmad Dahlan pun pernah mencontohkan untuk mengajar lewat kesenian. “Ia mengajarkan anak didiknya huruf latin yang diajarkan dengan menyanyi,” cerita Farid.
Anak-anak Kauman saat itu memang belum bisa membaca huruf latin, biasanya mereka lebih paham huruf pegon, atau huruf Arab Jawa. Menyanyi bagi Farid menjadi salah satu metode yang dipilih Kiai Dahlan karena dengannya, perasaan senang untuk belajar jadi terasa pada diri anak-anak sehingga mereka jadi lebih mudah belajar.
Perjuangan Muhammadiyah membangun pendidikan memang tidak mulus. Terdapat dua fase dalam perkembangan pendidikan Muhammadiyah.
Pertama, perintisan. Awalnya KH Ahmad Dahlan harus beberapa kali melakukan eksperimen dan sempat menutup beberapa sekolah rintisannya. Ia pun terlibat di berbagai organisasi seperti Budi Utomo dan Jami’at Khair yang secara tidak langsung memberi banyak referensi baginya soal sebuah perkumpulan. Sekolah-sekolah yang didirikan awalnya menurut Farid, “Sudah termasuk institusi yang maju karena sudah menggunakan meja dan bangku.”
Kedua, pematangan dengan pendirian perkumpulan Muhammadiyah pada 1912 untuk membangun sistem sekolah dan pengajaran yang teratur. Pada saat ini, muncul beberapa strategi untuk mengembangkan pendidikan di sekolah-sekolah Muhammadiyah, yakni mendidik anggota Muhammadiyah, mendidik kader Muhammadiyah, melakukan perjuangan politik (melegalkan status badan hukum), serta menyempurnakan struktur organisasi.
Menyoal sistem pendidikan, Farid menyampaikan bahwa tujuan pendidikan Muhammadiyah saat itu adalah demi melahirkan sosok ulama dan cerdik pandai yang bertakwa kepada Allah SWT dan berguna bagi masyarakat. Narasumber memaparkan berbagai sumber primer sejarah, seperti hasil kongres Muhammadiyah seperempat abad, naskah pepeling marang para muslimin Muhammadiyah yang berisi etika guru, dokumen syahadah sekolah, dan sebagainya.
Di antara hasilnya, dinyatakan bahwa tujuan pendidikan “menggiring anak-anak Indonesia menjadi orang Islam yang berkobar-kobar semangatnya dengan khususnya lagi cerdas otaknya; badannya sehat, tetap bekerja; hidup tangannya, mencari rezeki sendiri sehingga kesemuannya itu membawa faedah yang besar dan berharga tinggi bagi badannya dan juga masyarakat hidup bersama”.
Etika guru dalam pepeling itu disebutkan bahwa semua orang Islam memiliki peran untuk menjadi murid dan menjadi guru, yakni diwajibkan untuk belajar dan menambah ilmu. Selain itu, Farid juga menunjukkan dokumen-dokumen tentang tata aturan sekolah saat itu dimana ada prosedur absensi guru, informasi adanya kartu anggota guru, dan sebagainya.
“Pada konteks saat itu, ini adalah hal luar biasa untuk memastikan kerapian administrasi,” paparnya. Karakter modern dan berkemajuan benar-benar tampak dalam pendidikan Muhammadiyah.
Farid menilai ada dua kurikulum yang terbangun dalam pendidikan di Muhammadiyah, yakni kurikulum umum dan kurikulum khusus. Kurikulum umum mengadaptasi sekolah Belanda dan mata pelajaran agama Islam. Biasanya penerapan kurikulum ini dilakukan di sekolah umum seperti Volkschool, Standardschool, Holland Inlands School (HIS), Schakelschool, Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO), dan Holland Inlands Kweekshool (HIK).
Kurikulum khusus merupakan kurikulum yang khas dan spesifik, serta disusun sesuai kebutuhan dan pilihan Muhammadiyah sendiri. Ini sebagaimana diterapkan di sekolah khusus keagamaan, seperti Ibtidaiyah, Diniyah, Mubalighin, Mu’allimin-Mu’allimaat, dan Zu’ama. Zu’ama berdiri kurang lebih tahun 1930, tapi sayangnya tidak bertahan lama. Padahal sekolah ini berhasil melahirkan banyak alumni luar biasa, contohnya Hasan Basri.
Fenomena-fenomena lain dalam pendidikan Muhammadiyah tahun-tahun itu adalah adanya difusi antarmata pelajaran, yaitu agama dan mata pelajaran umum. Walaupun begitu, materi agama tetap menjadi prioritas. Selain itu, terdapat hidden curriculum yang merupakan pembelajaran untuk kaderisasi Muhammadiyah. Ini dilakukan ketika ada kesempatan, contohnya melalui kegiatan umum atau pelibatan anak-anak dalam acara persyarikatan.
Untuk proses evaluasi pembelajaran, Muhammadiyah memegang beberapa prinsip yaitu kesinambungan, keterbukaan, kesesuaian, dan mendidik. Evaluasi ini umumnya dilaksanakan pada saat rapat guru yang sedikitnya dilakukan sebulan sekali untuk mengevaluasi proses pengajaran, membahas pengaturan dan keperluan sekolah. Selain itu evaluasi juga dilakukan dengan adanya pengawas sekolah.
Sumber biaya sekolah didapatkan dari iuran anggota, zakat, infaq, sedekah, uang pangkal murid, serta subsidi pemerintah. Farid mengatakan, seluruh materi yang disampaikan ini pernah ia publikasikan dalam buku berjudul “Genealogi dan Modernisasi Sistem Pendidikan Muhammadiyah: 1911-1942” yang diterbitkan Semesta Ilmu. (*)
Wartawan: Ahimsa W Swadeshi
Editor: Heru Prasetya
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow