MediaMU.COM

MediaMU.COM

Portal Islam Dinamis Berkemajuan

May 14, 2024
Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Ir. H. Djuanda, Tokoh Muhammadiyah Pencetus “Proklamasi Kedua”

Gambar Ir. H. Djuanda dalam mata uang rupiah.

YOGYA – Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Haedar Nashir, M.Si., menjelaskan bahwa terdapat 22 tokoh Muhammadiyah yang mendapatkan gelar Pahlawan Nasional. Hal ini disampaikan ketika mengantarkan pengajian bertema “Muhammadiyah dan Kepahlawanan Nasional”, Jumat (12/11).

Hadir tiga narasumber dalam kegiatan itu, yakni Kevin W. Fogg, Ph.D. (Associate Director California Asia Center The University of North California), Dr. Lukman Hakiem (Sejarawan), serta Drs. Hajriyanto Y. Thohari, M.A. (Duta Besar RI untuk Lebanon). Masing-masing mengupas tokoh pahlawan Bung Tomo, Ki Bagus Hadikusumo, serta Ir. H. Djuanda.

Kupasan materi Kevin disampaikan dalam berita terpisah bersama pengantar dari Prof. Haedar. Penulis buku “Indonesia’s Islamic Revolution” ini mengupas Bung Tomo, namun dalam materinya ia lebih banyak membahas pahlawan nasional secara keseluruhan, lebih khusus tentang pengaruh Islam dalam perjuangan revolusi.

Narasumber kedua ialah Dr. Lukman Hakiem yang membahas “Ki Bagus Hadikusumo: Kepahlawanan dan Peran dalam Penyusunan Dasar Negara”. Ia dinilai memiliki kepribadian yang teguh pendirian dalam memegang prinsip selama hidupnya.

Pada masa kependudukan Belanda, Ki Bagus Hadikusumo dikenal sebagai tokoh yang keras mendebat pemerintah kolonial demi menyatakan bahwa hukum Islam ialah yang paling tepat diberlakukan di Indonesia.

Pada masa penjajahan Jepang, dirinya menyuarakan protes terhadap kebijakan pemerintah soal upacara Seikerei (membungkukkan badan ke arah matahari). Karena keteguhannya, pemerintah Jepang malah menaruh hormat pada Ki Bagus. Bahkan ia pernah diundang ke Jepang bersama Ir. Soekarno dan Moehamad Hatta.

Narasumber yang aktif di dunia politik dan pernah menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta Staf Khusus Wakil Presiden RI Hamzah Haz itu menyampaikan, peran tokoh Muhammadiyah tidak bisa dianggap sepele. “Beliau (Ki Bagus) dianggap sejajar dengan pemimpin bangsa seperti Soekarno dan Hatta,” tandasnya.

Pada persiapan kemerdekaan, tokoh ini juga memiliki kontribusi besar dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dari notulensi rapat PPKI, terlihat Ki Bagus adalah anggota yang sangat aktif.

Unik bin anehnya, pada risalah notulen sidang yang diterbitkan tahun 1992 dan 1995, pidato Ki Bagus sama sekali tidak muncul. Padahal Soekarno dalam sidang-sidang tersebut kembali menyebut-nyebut penyampaian Ki Bagus sampai kurang lebih 10 kali.

Lukman mengaku sekitar tahun 1979, ia pernah membaca naskah pidato tersebut dari salah satu keturunan Ki Bagus. Baru setelah diserahkan kepada pemerintah, kini naskah tersebut dimunculkan dalam risalah.

Dalam diskusi soal sila pertama Piagam Jakarta di sidang PPKI, Ki Bagus sempat menyampaikan argumennya soal frasa “bagi pemeluk-pemeluknya” yang dianggapnya agak mengganjal. Menurutnya, frasa itu mengesankan Piagam Jakarta hanya untuk sebagian pihak saja.

Ki Bagus, kata Lukman, mengatakan bahwa kalimat lengkap sebaiknya dipertegas antara “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam” saja atau lebih baik netral tanpa menyebut-nyebut agama Islam. Keputusan akhirnya meninggalkan tujuh kata tersebut.

Setelah proklamasi kemerdekaan dan sebelum pelaksanaan rapat, ada pertemuan Bung Hatta dengan beberapa mahasiswa Sekolah Tinggi Kedokteran. Merekalah yang menyampaikan keberatan atas tujuh kata tersebut. Atas keluhan itu, Bung Hatta menyampaikan kepada forum.

Pada saat itu, perwakilan umat Islam yang ada baru Ki Bagus Hadikusumo, tokoh lain seperti KH. Wahid Hasyim belum di lokasi. Sehingga keputusan sila pertama itu akhirnya dibebankan kepada Ki Bagus seorang yang melahirkan keputusan berupa kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Parwoto Mangunsasmito, seorang tokoh Masyumi, pernah menanyakan soal sila pertama kepada beberapa tokoh termasuk Ki Bagus, Teuku Muhammad Hasan, H. Agus Salim, serta KH Wahid Hasyim. Jawaban kesemuanya begitu bulat, yakni tauhid.

Lukman menutup penyampaian materinya dengan meminjam kata-kata Ki Bagus kepada Soekarno, “Tanpa keteguhan tauhid orang Islam, maka kekuatan bangsa Indonesia ini tidak ada artinya.”

Narasumber lain, Drs. Hajriyanto Y. Thohari, M.A., mengupas “Ir. Djuanda: Kepahlawanan dan Peran dalam Kedaulatan Wilayah”. Ia menekankan bahwa banyak pahlawan dan tokoh pergerakan berasal dari Muhammadiyah. Di antara mereka banyak yang sudah diakui negara, tapi lebih banyak lagi yang belum.

Sebuah klaim, kata Hajriyanto, akan begitu kosong meskipun ada bukti pendukung. Hal lain yang dibutuhkan adalah narasi dan logika yang dapat mengaitkan bukti-bukti tersebut. Ia lantas mengenalkan salah satu tokoh Muhammadiyah yang perlu dikulik, yakni Ir. Djuanda.

Pahlawan nasional yang dikukuhkan tahun 1963 ini ialah pribadi yang dekat dengan Ir. Soekarno dan menjabat Perdana Menteri pada Kabinet Karya (1946-1949). Ia adalah Perdana Menteri yang bukan perwakilan partai politik.

Perannya begitu tampak pada berbagai perundingan dan usaha diplomatik mempertahankan kemerdekaan. Bahkan setelah merdeka di tahun 1957, Perdana Menteri Djuanda mengeluarkan deklarasi yang dikenal sebagai Deklarasi Djuanda. Isinya menegaskan soal kedaulatan laut Indonesia.

Atas usahanya, Indonesia yang sebelumnya hanya memiliki kekuasaan wilayah laut sejauh tiga mil dari garis pantai kini dapat memperluas jangkauannya. Deklarasi tersebut juga memberikan ketegasan bahwa kapal-kapal asing tidak dapat seenaknya memasuki wilayah Indonesia. Deklarasi ini disebut-sebut sebagai “proklamasi kedua” kemerdekaan Indonesia.

Kontribusinya itu menjadikan sosok Djuanda dikenang dan dihormati. Salah satu buktinya adalah penamaan Bandara Juanda International Airport di Surabaya dan Taman Hutan Raya Juanda di Bandung.

Pada masa penjajahan, Djuanda pernah diminta bekerja di instansi pemerintah kolonial, namun ia lebih memilih berperan di Muhammadiyah. Lulus dari Institut Teknologi Bandung (ITB), laki-laki ini memutuskan untuk mengelola SMP dan SMA Muhammadiyah yang gajinya tidak seberapa.

Dalam akhir materi, Hajriyanto kembali menegaskan pentingnya mengumpulkan bukti-bukti sejarah Indonesia disertai narasi serta logika yang bertanggung jawab. (*)

Wartawan: Ahimsa W. Swadeshi
Editor: Heru Prasetya

Comment

Your email address will not be published

There are no comments here yet
Be the first to comment here