Kajian Pendekatan Budaya dalam Dakwah

Kajian Pendekatan Budaya dalam Dakwah

Smallest Font
Largest Font

YOGYAKARTA — Dalam QS. Ibrahim ayat 144 dijelaskan bahwa Allah SWT mengutus para Rasul untuk berdakwah sesuai dengan bahasa kaumnya.

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Kesadaran terhadap ayat ini membuat para pendakwah Islam di Indonesia memilih jalur kultural (cultural approach) sebagai pendekatan dakwah.

Islam dalam adaptasinya dengan masyarakat Indonesia, yang secara geografis sangat berjauhan dengan awal munculnya agama-agama samawi. Para penyebar agama lebih cenderung mengambil sikap yang akomodatif terhadap budaya setempat.

Dakwah melalui pendekatan kultural dengan memanfaatkan budaya sebagai sarana, media di Indonesia khususnya nampak dalam model dakwah para Wali Songo (wali sembilan) ketika mendakwahkan Islam di tanah Jawa.

Dalam berdakwah mereka lakukan juga dengan kesenian seperti lagu-lagu tembang Jawa, wayang, gamelan, permainan, lirik-lirik lagu, serta upacara-upacara keluarga dan masyarakat.

Kelenturannya terhadap budaya lokal melahirkan budaya Islami, yang sampai saat ini mentradisi pada sebagian besar masyarakat muslim Indonesia. Sedangkan di sisi lain, kelahiran dakwah Muhammadiyah yang dikenal berwatak reformis lebih merupakan respons terhadap kondisi sebagian tradisi lokal pada saat itu, yang sarat dengan muatan kultus-sakralitas dan unsur-unsur takhayyul, bid’ah dan churafat.

Namun, dakwah dengan pendekatan kultural masyarakat, sebenarnya bertujuan untuk mempermudah jalan dakwah Muhammadiyah.

Dakwah kultural merupakan suatu pendekatan dakwah dengan memperhatikan kecenderungan mad’û sebagai makhluk berbudaya sehingga memudahkan bagi penyampaian pesan-pesan dakwah.

Untuk itu, dakwah harus dihadirkan dengan cara yang lebih cerdas, bijak dan mampu membuat mad’û dengan mudah menerima, bukan menjauhinya.

Peran dan efektivitas dakwah kultural sangat dibutuhkan demi keberhasilan dakwah Islam di Indonesia. Dan tantangan dakwah Muhammadiyah di abad kedua semakin beragam, seiring dengan semakin maraknya kembali beberapa amaliah yang memperoleh pembenaran dari ulama tradisional, dan didukung oleh adanya otonomi daerah dengan kebijakan menghidupkan kembali tradisi budaya masa lalu.

Di sisi lain, Muhammadiyah sangat kental dengan predikat ‘pemurnian’ sehingga Muhammadiyah dianggap anti kesenian dan tradisi budaya lokal/nasional.

Oleh karena itu, perlu penegasan kembali tentang aktualisasi program dakwah kultural sebagai strategi dakwah yang mampu memotivasi dan mengkondisikan individu dan masyarakat untuk kreatif, inovatif dalam memproduksi hal-hal baru. Termasuk menyaring seni dan budaya yang sesuai dengan kepribadian Muhammadiyah.

Seperti disampaikan Ketua Umum PP Aisyiyah, Dra Hj Siti Noordjannah Djohantini, MM, MSi, ‘Aisyiyah dituntut selalu hadir di tengah masyarakat untuk memberi pencerahan tanpa mencerabut dari akar budayanya.

“Karena budaya itu sendiri sebenarnya sangat kompromis terhadap perubahan, meskipun dilakukannya secara perlahan atau evolusi bukannya revolusi,” kata Noordjannah Djohantini.

Tantangan inilah yang ingin dijawab oleh ‘Aisyiyah untuk menggali pendekatan budaya, yang mungkin bisa dilakukan dalam melakukan dakwah di semua kalangan, semua usia dengan tetap menarik dan mudah diterima.

Berkaitan hal itu, Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Lembaga Kebudayaan kerjasama dengan Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Majelis Tabligh adakan diskusi sehari di Gedung Islamic Center Kampus 4 Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, Sabtu (1/9/2018).

Dengan mengusung tema pendekatan budaya dalam dakwah, para perempuan berkemajuan ini, berkumpul dan berdiskusi.

Adapun tujuan kegiatan ini untuk memahami kembali konsep dakwah kultural Muhammadiyah, menemukan model pendekatan budaya yang bisa dilakukan dalam berdakwah, menakar budaya-budaya yang sesuai dan tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam yang saat ini berkembang dan dikembangkan di masyarakat.

Di depan anggota ‘Aisyiyah ini, tentunya ada satu kata kunci yang menarik dari Drs Tafsir, MAg, yang sampaikan pendekatan budaya dalam dakwah Muhammadiyah.

Dalam diskusi yang sangat menarik itu, Drs. Tafsir, MAg, menyampaikan, budaya jangan disingkirkan. “Namun, sakralisasi itulah yang harus dihilangkan,” tandas Tafsir, Ketua PWM Jawa Tengah.

Kalau kita menjauh dari ruang budaya, seperti diungkapkan Tafsir, maka orang lain yang akan mengisinya. “Maka, harus ada akulturasi yang kita lakukan kalau kita tidak ingin terpinggirkan,” papar Tafsir.

Orang Indonesia bisa di-Islam-kan, tapi tidak bisa di-Arab-kan. Dan, diskusi itu menjadi menarik, ketika Dr Junaidi, S.Kar, Dosen ISI Yogyakarta, menampilkan wayang, nembang dan joged Islami garapannya.

Pada kesempatan itu, Junaidi sampaikan paparannya soal seni dan budaya sebagai media dakwah dan transformasi nilai.

Apa yang disampaikan Dr. Junaidi, S.Kar, dikuatkan dengan pandangan tarjih dari Dr Maesaroh Dimyati dari Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) PP Muhammadiyah, yang sampaikan landasan dakwah kultural dalam Muhammadiyah.

Maka, lengkaplah sudah diskusi sehari yang dihadiri 150 orang peserta dari DIY dan Jateng, berasal dari berbagai unsur: Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Lembaga/Majelis Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah DIY dan Jawa Tengah, Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah se-DIY dan sekitarnya, Lembaga Seni Budaya dan Olah Raga (LSBO) PP Muhammadiyah, MPI PP Muhammadiyah, mubalighat ‘Aisyiyah, Pimpinan Cabang ‘Aisyiyah se-Kota Yogyakarta, pimpinan Ortom, PTM dan Amal Usaha Muhammadiyah/’Aisyiyah.

Dan, pekerjaan rumah atau PR selanjutnya adalah menuangkan hasil  diskusi ini dalam sebuah buku saku panduan yang diperuntukkan bagi para mubalighat.

Di akhir diskusi, peserta menyempatkan menengok pembangunan Museum Muhammadiyah di  Kompleks Kampus 4 UAD Yogyakarta.

“Rasanya ada kebanggaan tersendiri setelah melihat tiang-tiang pancang itu sudah berdiri,” ucap Hj Mahsunah Syakir dari PP ‘Aisyiyah, yang masih tetap bergembira dan bersemangat dengan sahabat-sahabatnya di Lembaga Kebudayaan PP ‘Aisyiyah.

Ditambahkan Widiyastuti dari Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) PP Muhammadiyah, dibutuhkan keberanian untuk menerapkan pendekatan budaya dalam dakwah di Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah.

“Di samping dibutuhkan kemampuan intrepretasi mubaligh mubalighat kita dalam memaknai fenomena budaya,” kata Hj Widiyastuti, SS, M.Hum, yang juga anggota Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Lembaga Kebudayaan. (Affan)

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow