Menyelami Keteladanan Buya Syafii dari Tiga Ranah
YOGYA – Mei 2022, Bangsa Indonesia terutama warga Persyarikatan Muhammadiyah, kehilangan sang guru. Ahmad Syafii Maarif atau dikenal dengan panggilan Buya Syafii berpulang pada Jumat, 27 Mei. Kepergiannya menimbulkan kesedihan mendalam mengingat banyak sekali jasanya untuk bangsa dan Muhammadiyah.
Keteladanan Buya Syafii akan selalu diingat, terlebih oleh orang yang sangat dekat dengan almarhum. Salah satunya adalah Erik Tauvani Somae, Dosen Universitas Ahmad Dahlan (UAD). Ia hadir sebaai narasumber dalam Kajian Malam Sabtu (KAMASTU), Jumat (16/7).
Erik mengatakan, sosok Buya Syafii sebagai Muhammadiyah tulen, dari masa kanak-kanak hingga akhir hayatnya. Riwayat pendidikan diawali dari Sekolah Rakyat (SR) Muhammadiyah Sumpur Kudus, lanjut ke Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Lintau, kemudian Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta (harus mengulang kembali dari MTs), hingga sebelum lulus Aliyah, harus mengabdi sebagai kader anak panah di daerah Lombok Timur sebagai syarat lulus Mu’allimin Yogya.
Masa perkuliahan, Buya Syafii menempuh pendidikan S1 di IKIP Yogyakarta (sekarang UNY), S2 di Ohio University, hingga S3 di Chicago University. Setelahnya, Buya sering menjadi dosen tamu di berbagai negara, seperti Singapura, Pakistan, Malaysia, Kanada, dan masih banyak lagi.
“Jadi, pengabdiannya sebagai guru, dan jiwanya memang guru itu tidak diragukan lagi. Jiwa Buya memang guru. Bahkan, sebelum kuliah lagi ke Amerika, sempat menjadi guru di Mu’allimin dan di berbagai daerah lainnya,” kata Erik.
Karena hal itulah, Buya Syafii kemudian dikenal sebagai “Guru Bangsa”. Artinya guru bagi semuanya, tidak hanya di lingkungan Muhammadiyah tetapi juga bagi lingkungan non-Muhammadiyah. Buya adalah guru bagi mereka, termasuk non-muslim sekalipun.
Erik yang juga alumni Mu’allimin Yogyakarta itu mengenal Buya Syafii sejak 2012 dan memiliki kedekatan baik secara struktural maupun kultural dan juga secara personal. Ia sering diminta menemani Buya, sehingga Erik bisa melihat dan mengambil hikmah atau pelajaran dari sosok Buya.
Bahkan, Erik melihat semesta dari pikiran Buya Syafii sangatlah luas karena Buya selalu memikirkan kemanusiaan, tidak hanya Muhammadiyah. Selain itu, kecintaan Buya kepada Indonesia sebagai bangsa dan negara sangatlah kuat. Semesta keindonesiaannya sangat menyeluruh.
Lebih dari itu, ada satu lagi di atasnya, yaitu kemanusiaan. Dengan itulah, Buya Syafii bisa dekat dengan siapapun, termasuk yang berbeda keyakinan. Namun, kedekatan itu tidak membuatnya melebur, justru menjadikan dirinya sendiri, sehingga tidak ada prasangka apapun.
Hingga saat hari-hari terakhir Buya Syafii, Erik melihat ada tiga ranah yang menggambarkan betul secara spesifik sosok Buya Syafii. Pertama, Muhammadiyah, di situlah Buya berkiprah dan dari situ pula pola pikirnya terbentuk. Kedua, Mu’allimin, dimana ia dididik, sehingga menjadi sosok yang percaya diri, pemberani, dan lain-lain. Ketiga, Sumpur Kudus, kampung halamannya dimana ia dilahirkan.
Hal tersebut dibuktikan Buya dengan beberapa hal. Terkait Muhammadiyah, ia tidak mau dirawat di rumah sakit manapun selain RS PKU Muhammadiyah. Bahkan, ketika datang tawaran untuk berobat di rumah sakit terbaik di Jakarta, Buya menolak. Di beberapa kesempatan pula, Buya sempat menanyakan perihal pemakaman dan ia ingin dimakamkan di pemakaman Muhammadiyah, tepatnya di Pemakaman Husnul Khatimah, Nanggulan, Kulonprogo. Tidak hanya itu, Buya menyumbangkan uang wasiat untuk mendirikan masjid di sekitar pemakaman tersebut.
Lalu, terkait Mu’allimin, Buya pernah berkata kepada Erik, bahwa Mu’allimin (kampus baru di Sedayu, Bantul) merupakan karya terakhir dan terbesarnya, maka pembangunannya harus segera selesai. Buya Syafii sebagai Ketua Tim Pengembangan Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta sejak 2012 pontang panting mencari dana termasuk hingga ke Pemerintah Pusat. Dalam setiap kesempatan, Buya selalu menomorsatukan Mu’allimin, terutama uang yang diperoleh selalu mengalir dulu ke Mu’allimin.
Sejak dibangun pada 2019, kampus baru Mu’allimin di Sedayu telah resmi berdiri, terdapat bangunan masjid, asrama, rumah pamong, embung, minimarket, dan lapangan (sedang dalam proses). “Tentunya hal ini merupakan sebuah amalan yang luar biasa dan murni, karena Buya Syafii tidak pernah menerima satu rupiah pun, bahkan rela mengeluarkan dana pribadinya agar pembangunan dapat berjalan,” tutur Erik.
Berkaitan dengan Sumpur Kudus, tempat kelahiran Buya Syafii, ia mengirimkan dua kader anak panah untuk mengabdi ke sana. Dua kader tersebut adalah Sidiq Wahyu (alumni Mu’allimin) dan Inggit Prabowo (Alumni PUTM). Keduanya ditugaskan untuk membangun mental masyarakat dengan dakwah yang mencerahkan.
Ketika Buya Syafii menceritakan kader anak panah di Sumpur Kudus, Buya sangat senang dan tertawa, apalagi bercerita tentang kiprah Muhammadiyah di sana pada masa lampau. Bahkan, Buya juga memikirkan kampung-kampung lain yang juga mengalami persoalan serupa, yakni memerlukan kader anak panah yang mengabdi di sana.
“Tentunya hal tersebut disadari Buya, namun di akhir hayatnya, memilih fokus di Sumpur Kudus. Jika kader anak panah di Sumpur Kudus ini bisa menjadi rule model untuk dakwah Muhammadiyah di seluruh Indonesia, akan menjadi sesuatu yang sangat positif,” harap Erik. (*)
Wartawan: Dzikril Firmansyah
Editor: Heru Prasetya
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow