MediaMU.COM

MediaMU.COM

Portal Islam Dinamis Berkemajuan

May 13, 2024
Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Momen Haru Kenang Sosok Kuntowijoyo, Sejarawan dan Budayawan Muhammadiyah

Almarhum Prof. Kuntowijoyo. Foto: sangpencerah.id

SLEMAN – Prof. Dr. H. Kuntowijoyo, M.A. meninggal dunia pada 22 Februari 2005 di RSUP Dr. Sardjito. Tapi nama lelaki kelahiran Sanden, Bantul 18 September 1943 ini begitu lekat ketika membicarakan Muhammadiyah dan sastra. Meski pernah menjadi bagian dari PP Muhammadiyah, Pak Kunto tidak sungkan memberikan kritik konstruktif bagi persyarikatan ini.

Pada Kongres Sejarawan Muhammadiyah 2021 yang berlangsung 27 dan 28 November 2021, Pak Kunto menerima penghargaan dari Muhammadiyah atas kontribusi akademiknya dalam bidang sejarah, termasuk mengulas sejarah Muhammadiyah.

Gagasan dan kenangan yang ditorehkan masih lekat dalam catatan dan ingatan. Forum Kapita Selecta Dakwah pada Senin (13/12) juga menjadi bukti tetap hadirnya Prof. Kuntowijoyo.

Forum kajian tersebut spesial mengupas sosok budayawan dan sastrawan Muhammadiyah itu. Kegiatan yang dikelola Pondok Pesantren Budi Mulia ini dihadiri secara daring oleh sekitar kurang lebih 120 peserta. Untuk mengawali kegiatan, ditampilkan video dokumenter tentang sosok Kuntowijoyo.

Rupanya, video tersebut cukup membangun kesan haru bagi sebagian orang. Salah satunya, Ustaz H. Lukman Hakiem, seorang peminat sejarah, yang memiliki beberapa pengalaman bersama Kuntowijoyo.

Menurut Prof. Dr. Chairil Anwar, Ketua Umum Yayasan Shalahuddin Budi Mulia, Pak Kunto punya peran di masa pendirian Yayasan Shalahuddin sebelum berganti nama. Beberapa kenangan juga diceritakannya kepada forum. 

Secara berurutan narasumber yang dihadirkan adalah Ghifari Yuristiadhi Masyhari Makhasi, S.S., M.A., M.M. (Panitia Kongres Sejarawan Muhammadiyah 2021), Nur Aini Setiawati, Ph.D. (dosen Sejarah Universitas Gadjah Mada/UGM), serta Dra. Hj. Susilaningsih, M.A. (istri Prof. Kuntowijoyo).

Ghifari menyuguhkan materi “Warisan Penting Prof. Kuntowijoyo untuk Historiografi (Islam) Indonesia”. Laki-laki yang mengenyam pendidikan di UGM pada tahun 2007 ini merasa sangat sayang dan kurang beruntung karena tidak sempat menjadi mahasiswa tokoh budayawan tersebut.

Hanya saja, “Saat saya menjadi mahasiswa, saya merasa Pak Kunto masih hidup,” katanya. Mengapa? Banyak referensi sejarah yang diwariskan bagi jurusan. Bahkan, royalti dari buku karya Pak Kunto masih mengalir hasilnya bagi himpunan mahasiswa jurusan. Ini, menurut Ghifari, menjadi amal jariyah.

Sebagai Ketua Panitia Kongres Sejarawan Muhammadiyah, ia menjelaskan signifikansi kegiatan tersebut dan bagaimana kaitan dengan Pak Kunto. “Amanat Prof. Kunto tentang perlunya menyegarkan organisasi dalam Muhammadiyah berbasis profesi, tidak hanya gender,” ungkap Ghifari.

Kongres menghasilkan beberapa rekomendasi untuk mengembangkan historiografi Muhammadiyah. “Penghargaan Pak Kunto sudah sangat banyak, apalah artinya penghargaan ini. Tapi bagi kami sangat berarti,” imbuhnya.

Pemberian penghargaan juga dalam rangka “merebut identitas” Prof. Kunto yang begitu luas peranannya dalam berbagai bidang. Di antara identitas yang ingin ditegaskan kembali lewat pemberian penghargaan adalah perannya sebagai sejarawan, representasi umat muslim, serta bagian dari keluarga Muhammadiyah.

Ghifari menyebutkan karya-karya Pak Kunto yang mengandung gagasan-gagasan segar dan signifikan. “Penghargaan kemarin bukan sekadar mengenang jasa beliau, juga bentuk bakti dari sejarawan Muhammadiyah,” tegasnya.

Uraian dilanjutkan Nur Aini Setiawati, Ph.D. yang pernah menjadi mahasiswi Kuntowijoyo di jurusan Sejarah UGM. Perempuan yang juga aktif di Lembaga Kebudayaan Pimpinan Pusat (PP) ‘Aisyiyah ini bercerita pernah menjadi salah satu asisten Pak Kunto dalam penelitian di Madura.

“Beliau kalau mengajarkan ilmu sejarah itu sangat dalam, tidak hanya permukaan,” terang Nur Aini. Dosennya tersebut selalu mendorong mahasiswa untuk belajar. Banyak ilmu didapatkan dalam riset itu, mulai dari bagaimana proses mencari sumber, menganalisis, menyusun konsep, hingga merangkai teori-teori baru.

Salah satu warisan gagasan dosennya tertuang dalam buku “Islam sebagai Ilmu”, dimana ia mengkritik bahwa ada kelemahan dalam gagasan islamisasi ilmu. “Pak Kunto menawarkan gagasan pengilmuan Islam, yakni membalik metode yang tadinya dari konteks ke teks membalik dari teks ke konteks,” jelas Nur Aini.

Ilmu Sosial Profetik (ISP) juga menjadi buah pemikiran Pak Kunto yang begitu penting. “Ilmu sosial profetik berpendirian bahwa sumber pengetahuan ada tiga, yaitu realitas empiris, rasio, dan wahyu,” jelas Nur Aini. ISP berpijak pada tiga pilar, yakni humanisasi, liberasi, serta transendensi.

Susilaningsih membacakan salah satu karya puisi suaminya. Foto: Ahimsa/mediamu.com

Saat ini banyak akademisi mulai tertarik mengembangkan gagasan Pak Kunto tersebut. Salah satu yang paling aktif adalah Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra yang bersama Dr. Arqom mengadakan diskusi-diskusi seputar ISP di Masjid Kampus UGM.

Sementara itu, Susilaningsih berbagi cerita tentang suaminya. Perempuan yang juga Ketua PP ‘Aisyiyah ini menceritakan sisi-sisi kreatif dan telatennya Pak Kunto. Acap kali ketika muncul berbagai ide di dalam benak, suaminya itu langsung menuliskan supaya tidak terlupa.

Pandangan Pak Kunto tentang sastra, budaya, politik, dan sebagainya sangat dihargai banyak orang hingga sering diminta menulis dimana-mana. Karya-karyanya deras mengalir, bahkan ketika sakit. Saat itu, ia hanya bisa menggunakan satu jari telunjuk untuk menulis, tapi tetap saja bersemangat untuk menelurkan isi pikiran.

“Pak Kunto itu perfeksionis,” ungkap Susilaningsih. Karena tidak begitu lancar berbicara, sering istrinya itu diminta membacakan makalah tulisannya. “Padahal kalau menjelaskan budaya, ada juga tulisan tembang-tembangnya dan itu harus ditembangkan, nggak boleh hanya dibaca,” tuturnya.

Oleh sebab itu, sebelum membaca, Pak Kunto pasti meminta istrinya untuk berlatih lebih dahulu. Sulitnya lagi, menurut Susi, karena sering tulisan suaminya itu mengandung unsur humor. Ia berusaha sebaik mungkin untuk menahan tawa ketika membaca.

Pada ujung penyampaiannya, ia mempersembahkan bacaan salah satu puisi Pak Kunto dalam buku “Makrifat Daun Daun Makrifat”. Puisi tersebut merupakan puisi-puisi awal yang ditulis Pak Kunto ketika belajar menulis kembali usai sakit.

“Aku ingin
jadi pencuri
yang lupa menutup jendela
ketika menyelinap
ke rumah Tuhan
dan tertangkap….” (*)

Wartawan: Ahimsa W. Swadeshi
Editor: Heru Prasetya

Comment

Your email address will not be published

There are no comments here yet
Be the first to comment here