ads
Pak Din: Warga Muhammadiyah Tidak Boleh Jauh dari Pancasila

Pak Din: Warga Muhammadiyah Tidak Boleh Jauh dari Pancasila

Smallest Font
Largest Font

YOGYA – Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Bulak Sumur Karang Malang (PC IMM BSKM) menyelenggarakan Webinar Ruang Dialektika “Negara Pancasila Sebagai Darul ‘Ahdi Wa Syahadah”, Ahad (8/8). Materi disampaikan Prof. Dr. Din Syamsudin, M.A. (Ketua Umum PP Muhammadiyah 2005-2010 dan 2011-2015).

Ia mengatakan, tahun 1998 terjadi wacana perubahan negara ideal. Bahkan muncul istilah Indonesia sebagai negara baru. Materi yang disampaikan bersumber dari bukunya, “Negara Pancasila Darul ‘Ahdi wa Syahadah, Sebuah Epilog: Relevansi dan Implementasi”.

Advertisement
ads
Scroll To Continue with Content

Latar belakang pemilihan konsep Darul ‘Ahdi was Syahadah dikaitkan dengan NKRI seperti pada tausiyah Kebangsaan Ketua PP Muhammadiyah (18 Agustus 2011). Namun, sebenarnya hal itu bertolak dari beberapa sebab.

Pertama, pada tahun 1998 terjadi reformasi sebagai upaya koreksi dalam bentuk perubahan struktural yang cukup fundamental. Terdapat penegasan dari KH. As’ad Syamsul Arifin (tokoh NU) dan tokoh Muhammadiyah, bahwa Negara Pancasila adalah ideal dan final. Ini diterima luas, namun pikiran lain selalu tidak pernah pudar. Realitas ini menjadi dalih tuduhan stereotipikal bahwa umat Islam antipancasila.

Kedua, bersamaan dengan itu, di dunia Islam konservatif berkembang politik yang ingin menghidupkan kembali ide dan lembaga politik tradisional yang pernah ada, seperti sistem politik kholifah.

Ketiga, terdapat gejala dan gelagat pendeviasian dan pendistorsian Pancasila melalui interpretasi artificial ke dalam praktik bernegara khususnya dalam bidang politik ekonomi.

Tahun 2012 Muhammadiyah tampil dengan ijtihadnya untuk meluruskan kiblat bangsa. Konsep darul ‘ahdi wa syahadah sebenarnya sudah pernah muncul dan merupakan pengembangan dari konsep Dar-Islam dan Dar al-Harb. Kedua konsep tersebut diajukan ulama fuqaha’,  yaitu Abu Hanifah dan Al-Awza’i.

Pemikir politik Islam modern berpegang pada kenyataan tiadanya penetapan tegas dalam Al Qur’an dan Hadits tentang pembentukan dan bentuk negara. Sumber-sumber Islam hanya memberi prinsip dasar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini menjadi acuan para tokoh Islam pada era pascakolonialisme mengajukan ijtihad politik.

Konseptualisasi dan kategorisasi negara di kalangan ulama politik pramodern sangat berkaitan dengan konteks situasi dan kondisi politik. Dar al-Islam dan Dar al-Harb merupakan respon terhadap pernyataan perang Persia dan Romawi.

Oleh karenanya, sebagai bentuk pertahanan diri, umat Islam menyatakan pembagian teritorial dan jurisdiksi pelaksanaan hukum. Argumen politik teritorial itu kemudian mendapat justifikasi teologis dan yuridis. Kontekstualisasi Darul ‘Ahdi dipahami sebagai negara perjanjian kekuasaan Islam, menjadikan Pancasila sebagai dasar filosofis negara.

“Muhammadiyah tampil dengan jihad konstitusi sebagai darul ‘ahdi wa syahadah. Maka warga Muhammadiyah tidak boleh jauh dari Pancasila,” tegasnya. (*)

Wartawan: Afifatur Rasyidah I.N.A.
Editor: Heru Prasetya

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow

Paling Banyak Dilihat