Pak Haedar: Sejarah Rawan Dimanipulasi
YOGYA – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr. H. Haedar Nashir, M.Si., menegaskan bahwa memahami sejarah itu perlu hati, kejujuran dan berpikiran terbuka. Hal itu disampaikan pada Kongres Sejarawan Muhammadiyah, Sabtu (27/11).
Kongres diselenggarakan Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) PP Muhammadiyah selama dua hari, Sabtu dan Ahad (27 dan 28 November) secara luring dan daring. Untuk acara luring bertempat di Amphitarium Kampus Utama Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Jl. Ringroad Selatan, Yogyakarta.
Haedar berharap, sejarawan Islam khususnya sejarawan Muhammadiyah tidak terjebak pada dogma serta mampu membuktikan peristiwa sejarah berlandaskan kaidah ilmu pengetahuan yang bisa dipertanggungjawabkan. Watak ilmu pengetahuan itu terbuka untuk didialogkan, terbuka untuk dikoreksi dan saling koreksi.
Meski demikian, harus diakui kalau upaya rekonstruksi sejarah kerap kali menjadi buntu ketika bersinggungan dengan politik yang syarat kepentingan individu maupun kelompok. Atas dasar politik, sejarah rawan untuk dimanipulasi.
“Sejarah kerap dipagari kepentingan jangka pendek dan dalam kepentingan politik jangka pendek inilah kadang terjadi pendustaan terhadap sejarah atau konstruksi sepihak terhadap sejarah,” tegasnya.
Karenanya, sejarah harus dibuktikan dengan mengikuti kaidah ilmu pengetahuan tanpa dilatari bias politik dan kepentingan individu atau kelompok. Masyarakat yang pasif mungkin tidak pernah tahu bias tersebut. Sehingga, seringkali pandangan akademisi yang telah mengkaji sejarah sejalan dengan kaidah objektif-ilmiah dikalahkan keputusan penguasa.
“Berebut tafsir sejarah tidak masalah sejauh bisa dipertanggungjawabkan, objektif-ilmiah, dan mengikuti kaidah ilmu pengetahuan yang selalu punya sifat dialogis dan keterbukaan. Tapi sering kita mentok ketika dihadapkan dengan politik dan kekuasaan, sehingga buntu karena terkunci oleh keputusan,” ujar Haedar.
Maka dari itu Haedar mengingatkan, sejarah harus diungkapkan secara jujur dan apa adanya. Rekaman peristiwa sejarah yang terjadi tidak mungkin tunggal atau terpisah dengan peristiwa lain, melainkan tersusun berdasarkan urutan kronologis.
“Dalam sejarah kebangkitan nasional terdapat banyak peristiwa seperti perang gerilya. Di Muhammadiyah ada Askar Perang Sabil, di Surabaya ada 10 November dalam satu rangkaian yang panjang,” kata Haedar.
Melalui Kongres Sejarawan ini, Haedar meminta sejarawan Muhammadiyah tidak terjebak pada praktik simplifikasi yang hanya menonjolkan satu aktor dalam mengulas peristiwa sejarah. “Sering ketika berbicara sejarah yang terjadi adalah simplifikasi. Hanya satu peristiwa, hanya satu aktor. Apalagi ketika masuk konstruksi politik itu tergantung siapa pemenang politik di suatu rezim, dia yang akan mengonstruksi tunggal,” ujarnya
Haedar juga mengajak masyarakat, khususnya umat Islam, memperkaya wawasan mengenai sejarah yang multiperspektif agar mampu menentukan arah masa depan berdasarkan pandangan luas. “Itulah pentingnya pelajaran sejarah, baik di sekolah, keluarga, bahkan di organisasi,” tandasnya. (*)
Wartawan: Dzikril Firmansyah Atha Ridhai
Editor: Heru Prasetya
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow