Podcast Dialog Dakwah Budaya Seri ke-2: Bercerita untuk Berdakwah
YOGYA – Dalam Podcast Dialog Dakwah Budaya yang kedua, Senin (20/9), Lembaga Kebudayaan Pimpinan Pusat (PP) ‘Aisyiyah mengangkat tema “Cerita dalam Al Qur’an, Strategi Dakwah Ringan, Menggembirakan, dan Tepat Sasaran”. Hasil kerja sama dengan Majelis Tabligh PP Muhammadiyah ini rencananya diadakan setiap Senin sore pukul 16.00-17.00 WIB.
Diikuti kurang lebih 25 peserta melalui teleconference termasuk Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah di luar negeri, podcast juga disiarkan melalui live YouTube Lembaga Kebudayaan PP ‘Aisyiyah, YouTube Majelis Tabligh Muhammadiyah, serta Facebook Majelis Tabligh Muhammadiyah.
Narasumber sore itu adalah Widiyastuti, S.S., M.Hum., Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan PP ‘Aisyiyah. Podcast dibawakan dengan dialog santai antara narasumber dengan host Rossa Kusumadewi Azhar, S.Pd., M.Si, atau dikenal dengan sapaan Teh Ocha.
“Dalam berdakwah, telling stories adalah salah satu metode yang dapat kita lakukan,” kata Wiwid, panggilan Widiyastuti. Pendakwah perlu memperhatikan target dakwahnya. Bagi audiens yang membutuhkan materi sederhana dan bahasa mudah dimengerti, bercerita menjadi pilihan metode yang tepat untuk digunakan.
Isi Al Qur’an kurang lebih 75% kisah-kisah, baik cerita nabi dan rasul, orang-orang saleh, orang-orang kafir, maupun yang berhubungan langsung dengan Rasulullah SAW. Seperti kisah Nabi Nuh AS membangun kapal besar, kisah Abu Lahab dan istrinya yang korup, kisah ‘Aisyah yang pernah difitnah, kisah LGBT di masa Nabi Luth AS, dan lain-lain. Semuanya adalah modal untuk berdakwah.
Cerita memang memiliki kekuatan sebagai media dakwah. Wiwid menyampaikan, di masa pemerintahan Shalahuddin Al-Ayyubi, tentara-tentara yang akan ikut berperang suatu kali merasa kehilangan semangat. Namun ketika diingatkan cerita pasukan Rasulullah SAW yang dalam Perang Uhud dan Perang Badar tetap gigih berperang dan rela mengorbankan nyawa, mereka langsung tersuntik semangatnya untuk berjuang.
Besarnya kekuatan cerita sebagai media dakwah juga dibuktikan oleh para wali yang dulu melakukan dakwah di bumi nusantara. Mereka menggunakan cerita-cerita Mahabarata dan budaya lokal untuk membantu masyarakat menerima ajaran Islam secara mudah dan smooth. “Mereka juga berdakwah dengan gamelan dan wayang,” imbuh Wiwid.
Di era globalisasi yang menyediakan berbagai macam teknologi digital, dakwah melalui story telling sangat didukung dan dimudahkan. Wiwid menyampaikan tantangan yang dihadapi seorang pendakwah di era digital, “Bagaimana ia bisa memahami cerita yang ingin disampaikan dan menggunakan suara sebagai kekuatannya.”
Hal lain yang perlu disadari dalam bercerita adalah pentingnya menggunakan bahasa sederhana. “Bahasanya nggak usah yang ndakik-ndakik. Istilah yang simpel, jadi orang denger nggak usah mikir,” jelasnya.
Menjadikan cerita sebagai sarana untuk berdakwah tepat digunakan untuk beragam segmen, mulai dari anak-anak yang suka menyimak dongeng, remaja yang senang menonton konten digital, bahkan ibu-ibu usia lanjut.
“Kalau jamaah sudah usia 60 tahun ke atas lalu diberi materi lebih dari satu jam, mereka bisa mengantuk,” katanya.
Pendakwah perlu berlatih menyusun konten dakwah yang durasinya pendek dan bisa dinikmati bahkan saat ibu-ibu rumah tangga sedang mengiris-iris bawang di dapur.
Untuk itu, seorang pendakwah harus mau untuk terus belajar. Tidak perlu takut. Tidak perlu menunggu sampai menjadi ustadz atau kiai besar. Ketika seseorang berdakwah, tidak hanya mengajak orang lain, namun juga mengingatkan diri sendiri. (*)
Wartawan: Ahimsa
Editor: Heru Prasetya
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow