Prof. Abdul Mu’ti: Perbedaan dalam Umat Islam adalah Kekayaan

Prof. Abdul Mu’ti: Perbedaan dalam Umat Islam adalah Kekayaan

Smallest Font
Largest Font

JAKARTA — Profesor Doktor Abdul Mu’ti menyampaikan pidato pengukuhannya di kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Rabu 2 September 2020. Dalam acara yang disiarkan langsung tvMu dan kanal youtube milik Muhammadiyah ini, pidato Abdul Mu’ti berjudul “Pendidikan Agama Islam yang Pluralistik: Basis Nilai dan Arah Pembaharuan”.

Mu’ti menegaskan kenyataan adanya kemajemukan di Indonesia dari sisi agama, bahasa, dan suku. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya agama yang ada seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, Yahudi, Bahai, dan sebagainya. Juga masih ada agama asli (indigenous religions), termasuk kelompok penghayat dan aliran kepercayaan.

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Di Indonesia terdapat sekitar 733 bahasa, 1.340 suku bangsa besar dan kecil. “Umat Islam Indonesia juga tidak tunggal dan monolitik. Berbagai madzhab fikih, aliran teologi, organisasi, dan gerakan berkembang di tubuh umat Islam,” tegas Sekretaris Umum PP Muhammadiyah ini.

Pria kelahiran Kudus, 2 September 1968 ini mengatakan, di dalam organisasi Islam tertentu terdapat varian yang menunjukkan dinamika internal. Mengutip pendapat Munir Mulkhan, ia menyebut contoh Muhammadiyah yang di dalamnya terdapat varian Muhammadiyah ikhlas (mukhlas), Muhammadiyah Ahmad Dahlan (Muda), Muhammadiyah Nahdlatul Ulama (Munu), dan Marhaenis Muhammadiyah (Marmud). Dalam risetnya sendiri, Mu’ti menemukan eksistensi varian Kristen-Muhammadiyah.

Perbedaan dalam diri umat Islam adalah kekayaan dan rahmat yang apabila dikelola dengan seksama akan membawa umat kepada kemajuan. Secara khusus ia memfokuskan pada kajian bagaimana mengembangkan Pendidikan Agama Islam (PAI) yang pluralistis untuk membentuk murid yang terbuka, toleran, bersikap positif, menerima, dan bekerjasama di tengah perbedaan sesuai ajaran Islam.

Selanjutkan dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menjabarkan lima basis nilai PAI yang pluralistis, yaitu ketuhanan, kebebasan, keterbukaan, kebersamaan, dan kerjasama.

Ketuhanan. Maksud dengan nilai ketuhanan adalah prinsip dasar yang menyatakan bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk beragama atau bertuhan (homo religious).

Kebebasan. Agar manusia tetap berada dalam fitrah dan berada di jalan yang benar, maka Allah mengutus para rasul untuk menyampaikan wahyu.

Keterbukaan. Selain kebebasan, Allah memberikan kesempatan kepada manusia untuk menentukan pilihan yang terbaik di antara berbagai pilihan. Allah memberikan kepada manusia akal sebagai potensi dan kekuatan yang memungkinkan berpikir kritis baik terhadap diri sendiri (muhasabah) maupun berbagai hal dan peristiwa yang ada di lingkungan alam dan sosial. Al Qur’an memerintahkan kepada manusia untuk menentukan pilihan secara sadar dengan ilmu dan melarang jumud dengan nafsu.

Bersikap terbuka atau open mind ditunjukkan dengan sikap mau mendengar, banyak berpikir, suka belajar, dan pada tingkat tertentu siap berubah menjadi lebih baik.

Nilai keterbukaan ditandai oleh kesiapan dan kemampuan untuk berkompetisi dengan pihak lain. Mereka senantiasa berusaha menjadi yang terbaik dengan berbuat baik, menjauhkan sikap rivalitas, dan tidak meniadakan kelompok lain. Inilah antara lain makna fastabiqul khairat.

Kebersamaan. Dalam Islam dan PAI, pluralitas banyak terkait dengan khilafiyah dalam masalah-masalah hukum fikih, akidah, tafsir, dan masalah praksis atau strategi dakwah dan gerakan Islam. Khilafiyah terjadi karena faktor ilmiah, khususnya perbedaan metode ijtihad, pendekatan, dan tafsir Al Qur’an dalam wilayah cabang (furu), bukan masalah pokok (ushul). Perbedaan furuiyah ini merupakan tanawwu (variasi) dan taaddud (keragaman) yang acceptable dan tolerable. Meskipun demikian, khilafiyah acap kali menjadi sumber ketegangan dan pertentangan di kalangan umat karena berimplikasi langsung atau tidak langsung terhadap amaliah keagamaan, termasuk di dalamnya ritual ibadah mahdlah, muamalah, dan akhlak.

Kerjasama. Nilai ini didasarkan pada Al Qur’an surat Al-Maidah ayat 2. Islam memerintahkan kepada pemeluknya untuk hidup rukun dengan menjalin ukhuwah dan saling kerjasama, tolong menolong (ta’awun) dalam kebaikan (al-bir) dan taqwa serta melarang kerjasama dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Mu’ti juga mengutip pendapat Imam Qurthubi (1996, V: 50) bahwa tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa adalah saling membantu dalam melaksanakan hal-hal yang diperintahkan oleh Allah dan meninggalkan yang dilarang. Al-bir dan al-taqwa adalah dua lafadz yang mengandung pengertian sama dan saling melengkapi walaupun keduanya memiliki penekanan sedikit berbeda. Al-bir adalah perbuatan yang disetujui atau disukai sesama manusia, al-taqwa adalah perbuatan yang diridlai Allah.

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Haedar Nashir, M.Si., sangat bangga dengan capaian yang diraih Abdul Mu’ti tersebut. Seperti diberitakan muhammadiyah.or.id, Haedar mengatakan, ”Muhamamdiyah senang dan bangga dengan capaian keberhasilan yang tidak semua orang dapat meraihnya. Karena itu kami ucapkan selamat kepada Prof. Abdul Mu’ti, keluarga, dan civitas UIN Jakarta. Semoga ilmu dan pengalaman Mas Mu’ti memberi manfaat terbaik bagi diri, keluarga, Muhammadiyah, umat, bangsa dan kemanusiaan semesta sebagaimana pesan nabi, insan terbaik memberi manfaat terbaik bagi kehidupan umat manusia dalam aktualisasi rahmatan lil ‘alamin.” (cip)

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow