Prof. Suteki: Hukum Kendalikan Pemerintah, Jangan Sebaliknya
SLEMAN – Jihadi dan Embun Pagi merupakan pengajian rutin kolaborasi Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Godean dan Pengajian Embun Pagi (PEP). Ahad (12/9), Jihadi ke-63 dan Embun Pagi yang dilaksanakan secara daring menghadirkan nara sumber Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.
Pada kegiatan yang dimulai pukul 06.00 WIB tersebut, Prof. Suteki membahas materi “Jalan Terjal Hukum di Indonesia dan Solusi Hukum Berkeadilan”. Laki-laki asal Sragen, Jawa Tengah, ini dikukuhkan sebagai guru besar tahun 2010 ketika usianya memasuki 40 tahun. Sebelum materi inti, sambutan disampaikan pengasuh PEP, Prof. Dr. Syamsul Hadi, S.U., M.A.
Ia mengingatkan pentingnya materi pagi ini dengan mengingatkan peserta pada Sabda Rasulullah SAW, “Hakim itu ada tiga macam. Satu di surga dan dua di neraka. Hakim yang mengetahui kebenaran dan menetapkan hukum berdasarkan kebenaran itu, maka dia masuk surga. Hakim yang mengetahui kebenaran dan menetapkan hukum bertentangan dengan kebenaran, dia masuk neraka. Dan hakim yang menetapkan hukum dengan kebodohannya, ia masuk neraka.” Kutipan hadits riwayat Abu Dawud.
Sedangkan Profesor Suteki mengawai paparannya dengan kata, “Berat”, tentang keputusan negara ini yang sejak awal menyatakan diri sebagai negara hukum. Segala urusan tata negara harusnya diatur hukum, termasuk pemerintahan pun dapat dikendalikan oleh hukum. Namun kini yang terjadi sebaliknya, pemerintah justru mengendalikan hukum.
Guru besar penulis buku “Eksploitasi Hukum untuk Kepentingan Politik” ini menyatakan bahwa hukum yang baik (good law) harus memenuhi good norm (substansinya baik) dan good process (penegakannya baik). Sayangnya, hukum yang berjalan di negeri ini selaras dengan perkataan Donald Black, sosiolog hukum, “Ke bawah makin tajam, ke atas makin tumpul.”
Perjuangan mencegah negara berubah menjadi sekuler digambarkan Prof. Suteki sebagai perjalanan panjang yang terjal. Ini yang sering disebut-sebut sebagai jihad politik. Contohnya, pada perundingan Jakarta Charter mengenai tujuh kata pada sila pertama. Contoh lainnya, terbubuh dalam Alinea Ketiga Pembukaan Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang menyatakan, “Atas berkat rahmat Allah…”
Prof. Suteki juga mengacu pada Mahfud M.D. dalam buku “Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi” yang membahas bagaimana Pancasila memandu politik hukum. Sila pertama menunjukkan bahwa jalannya negara didasarkan pada moral agama. Sila kedua mendorong untuk menghargai dan melindungi hak asasi manusia, tanpa terkecuali. Sehingga hukum tidak diskriminatif.
Sila ketiga menuntut adanya persatuan seluruh unsur bangsa dari berbagai latar belakang. Pada sila keempat, landasan politik hukum dapat menempatkan kekuasaan di bawah kekuasaan rakyat. Sedangkan, sila kelima mencegah agar mereka yang lemah secara sosial dan ekonomi tidak ditindas oleh mereka yang kuat secara sewenang-wenang.
Melihat kondisi saat ini, menurut Prof. Suteki, “Hukum kita dimanfaatkan oleh rezim untuk melakukan represi.” Hukum menjadi sarana bagi pemerintah untuk melegitimasi kekuasaan dan melestarikan kedudukannya.
“Hukum menjadi backup tindakannya,” tegas Suteki. Salah satu akibat yang muncul adalah adanya industri hukum, dimana pengadilan tidak lagi menentukan adil atau tidak, melainkan menentukan siapa menang dan siapa kalah.
Ia menyebut beberapa kasus besar seperti kasus Jaksa Pinangki, Djoko Tjandra, Juliari Batubara, dan Jiwasraya. Keputusan-keputusan pengadilan dari kasus-kasus tersebut sangat drastis perbedaannya dengan kasus aktivis KAMI dan FPI. “Masalah kita itu bukan radikalisme, melainkan ketimpangan sosial,” tandasnya.
Pembahasan kemudian beralih kepada munculnya beberapa kelompok dalam merespon ketimpangan tersebut. Pertama, sebagian memilih jalur puritan (murni) sebagaimana HTI dan MMI. Kedua, sebagian memilih terjun ke partai politik Islam. Sedangkan, lainnya memilih berjuang secara individual.
Menurut Prof. Suteki, pribadi-pribadi yang menjalankan jihad politik haruslah memiliki sifat tangguh, yakni kuat secara aqidah, mencintai ilmu, taat beribadah, serta berwatak zuhud. (*)
Wartawan: Ahimsa
Editor: Heru Prasetya
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow