Islam Berkemajuan vs Islam Berkemunduran: Belajar dari Buku Gerakan Islam Berkemajuan Karya Prof. Haedar Nashir (Bagian I)
Oleh: Arif Jamali Muis
Ketika Risalah Islam Berkemajuan ditetapkan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Surakarta pada 2022, muncul berbagai pertanyaan, termasuk dari warga Muhammadiyah sendiri. Salah satunya adalah: Mengapa Islam perlu diberi embel-embel “berkemajuan”? Jika ada Islam berkemajuan, apakah berarti ada Islam yang berkemunduran?
Prof. Haedar Nashir dalam bukunya Gerakan Islam Berkemajuan (2024) menjawab, “Pertanyaan itu wajar muncul jika pola pikirnya hanya bermain di aspek istilah atau bahasa, terlebih jika ditarik secara dialektika dengan logika yang sederhana atau verbal.” Beliau menegaskan bahwa Islam sebagai ajaran tidak mengandung unsur kemunduran, kejumudan, atau kebodohan. Sebaliknya, Islam justru mengajarkan nilai-nilai kemajuan. Jika terdapat kemunduran di kalangan umat Islam, itu bukan karena Islam sebagai agama, melainkan karena umat Islam sendiri. "Islam mahjubun bil-muslimin", Islam itu tertutupi oleh umat Islam sendiri.
Pertanyaan lain yang muncul adalah: Apakah konsep Islam Berkemajuan dapat membelah umat Islam ke dalam kelompok atau golongan tertentu? Dalam hal ini, Prof. Haedar menekankan bahwa Islam sebagai wahyu bersifat mutlak dan absolut, tetapi dalam tafsir, pemahaman, dan praktik keagamaan, Islam bersifat multigranular—memiliki berbagai penafsiran.
Hal ini mengingatkan pada pemikiran Ahmad Wahib yang dalam pencariannya terhadap hakikat Islam menyadari bahwa yang ia ketahui adalah Islam menurut Hamka, Islam menurut Abduh, dan Islam menurut berbagai tokoh lainnya. Ia pun bertanya, “Lalu, di mana Islam menurut Allah?” Maka, Ahmad Wahib memilih untuk belajar langsung dari Al-Qur'an dan Sunnah. Namun, dalam perjalanannya, ia juga terjebak dalam subjektivitasnya sendiri. Dalam catatannya, ia menulis:
"Orang lain pun akan beranggapan bahwa yang kudapat itu adalah Islam menurutku sendiri. Tapi biarlah, yang penting adalah keyakinan dalam akal sehatku bahwa yang kupahami itu adalah Islam menurut Allah. Aku harus yakin itu."
Pernyataan ini menunjukkan bahwa, meskipun ia ingin melepaskan Islam dari klaim-klaim kelompok tertentu, pada akhirnya ia tetap terjebak dalam klaimnya sendiri.
Persoalan klaim kebenaran menjadi tantangan besar dalam interaksi umat Islam. Sikap terbaik dalam beragama adalah terus belajar dan memajukan Islam serta umat Islam tanpa merasa benar sendiri. Terbuka terhadap pemikiran keislaman dari berbagai sumber merupakan bagian dari sikap berkemajuan. Pada akhirnya, kita serahkan kebenaran mutlak kepada Allah SWT, satu-satunya pemilik kebenaran hakiki.
Wallahu a‘lam bishawab.
*Penulis adalah Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah


What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow