Sejarawan Berpendapat tentang Amanat Jihad Muhammadiyah
YOGYA — Amanat Jihad Muhammadiyah yang dikeluarkan tanggal 28 Mei 1946 menjadi bukti bahwa Muhammadiyah ikut berperan penting dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Amanat itu berisi fatwa atau pandangan keagamaan soal perang.
Pernyataan tegas itu disampaikan sejarawan Muhammadiyah, Muhammad Yuanda Zara, Ph.D. dalam diskusi “Bedah Karya Sejarah Muhammadiyah” edisi Agustus, Jum’at (6/8).
Dalam kegiatan yang diadakan Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) Pimpinan Pusat Muhammadiyah tersebut, dosen sejarah Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) ini menjelaskan amanat dari Muhammadiyah tersebut merupakan hal langka. “Mengingat selama ini Muhammadiyah dikenal banyak bergerak di bidang keagamaan, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya,” tandasnya.
Bahkan, dalam kajian sejarah Indonesia pun, termasuk langka. Karena lebih sering membahas perspektif kalangan nasionalis dan militer, jarang sekali dibahas dari segi agama.
Isi “Amanat Jihad Muhammadiyah” tersebut adalah seruan-seruan kepada warga Muhammadiyah dan muslim pada umumnya untuk berperan dalam upaya pembelaan tanah air. Pada saat itu kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 tidak diakui Belanda.
Lebih lanjut Yuanda Zara mengatakan, berbagai perundingan yang dilakukan tokoh Indonesia dengan pihak Belanda selalu gagal. “Hingga timbul perang dan semakin besar saat terjadi agresi militer Belanda ke Yogyakarta tahun 1946,” terang Yuanda.
Situasi semakin meruncing inilah yang melatarbelakangi Muhammadiyah mengeluarkan fatwa “Amanat Jihad” dan dimuat di beberapa surat kabar, termasuk di Suara Muhammadiyah edisi Juli 1946.
Yuanda juga membacakan isi “Amanat Jihad” dari Pengurus Besar Muhammadiyah sebagai berikut:
Pertama, imbauan kepada seluruh warga untuk meyakini bahwa Indonesia sudah merdeka, meskipun masih banyak tentara Jepang berseliweran. Informasi kemerdekaan Indonesia juga belum sampai ke pelosok.
Kedua, seruan wajib kepada warga Persyarikatan untuk membela negara dari Belanda yang ingin menjajah kembali. Muhammadiyah membawa elemen keagamaan, di samping narasi nasionalisme sekuler.
Ketiga, dorongan kepada perempuan untuk mengambil bagian dalam peperangan ini. Peran yang dimaksud berupa tugas perawatan, pengobatan, konsumsi dan sejenisnya.
Keempat, doa dan harapan agar negara Indonesia menang. Mudah-mudahan segera menang dan bahagia, kekal merdeka dan berjasa, kembali aman dan sentosa.
Tidak hanya dari Muhammadiyah, berbagai organisasi atau kelompok Islam lain maupun jamaah ulama tertentu, juga mengeluarkan fatwa serupa, yang intinya adalah seruan untuk bangkit mempertahankan kemerdekaan negara di tengah gempuran politik dan militer Belanda.
Yuanda mengungkapkan, penulisan sejarah Muhammadiyah di masa revolusi ini belum banyak ditulis karena keterbatasan sumber.
Oleh karena itu ia mengingatkan, tugas para sejarawan memang mencari sumber primer. Bukan semata untuk merebut narasi sejarah, tetapi lebih kepada menghadirkan pemahaman sejarah. ()*
Wartawan: Dzikril Firmansyah Atha Ridhai
Editor: Affan Safani Adham
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow