MediaMU.COM

MediaMU.COM

Portal Islam Dinamis Berkemajuan

May 9, 2024
Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Sekolah Sistem Kepemiluan LHKP DIY: Tak Ada yang Terbaik

YOGYA – Dalam Sekolah Sistem Kepemiluan yang diadakan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PWM DIY pada Selasa (20/6), ada satu materi yang membahas mengenai “Desain Sistem Pemilu” oleh Pramono Ubaid Tanthowi S.Ag., M.A.

Wakil Ketua Komnas HAM yang dulunya Komisioner KPU 2017-2022 itu menyampaikan materi secara daring melalui aplikasi ZOOM dari Jakarta.

Pramono mengatakan, tidak ada sistem pemilu yang dapat dianggap terbaik.

“Setiap sistem pemilu memiliki kelebihan dan kekurangan. Setiap negara memiliki pemahaman mengenai konsep representasi yang berbeda-beda. Pilihan sistem pemilu sangat tergantung pada konsepsi demokrasi suatu Negara,” katanya.

Menyoal sistem pemilu, terdapat dua rumpun, yakni pluralitas atau mayoritas. Maksudnya, kandidat yang memperoleh jumlah suara terbanyak di suatu dapil memenangkan kursi yang tersedia, sementara yang lainnya tidak mendapatkan apapun.

Lalu, sistem perwakilan berimbang atau proporsional representation. Ini diartikan kursi yang tersedia dibagi antara kandidat atau partai secara proporsional, sesuai perolehan suara.

Selain kedua system tersebut, masing-masing rumpun memiliki beberapa varian sistem, misalnya campuran (mixed systems).

Sedangkan unsur sistem pemilu meliputi: jumlah kursi parlemen, besaran daerah pemilihan (distrik magnitude), formula konversi suara menjadi kursi, ambang batas (parlemen dan pencalonan kepala eksekutif, metode pemberian suara, penjadwalan pemilu, dan lain – lain.

Pada sistem pemilu ini Pramono menjelaskan ada dua dampak. Dari segi mekanik akan berefek langsung ke peserta yang mengikuti aturan pemilu. Misalnya, jika ambang batas parlemen dinaikkan, otomatis partai-partai politik kecil akan tersingkir.

Dampak psikologis mengacu pada reaksi aktor politik (politisi dan pemilih) terhadap konsekuensi aturan pemilu.  Calon nomor urut sepatu dalam Closed-List PR cenderung tidak akan bekerja keras dalam kampanye, karena kecil peluangnya untuk terpilih.

“Singkatnya, dampak psikologis mempengaruhi suara, dampak mekanis mempengaruhi kursi,” jelas Pramono.

Pramono juga membahas soal daerah pemilihan (dapil). Jumlah kursi di DPR RI, saat ini ambang batas parlemen 4% mencapai 575 kursi dengan alokasi per dapil 3-10 kursi. Sedangkan di DPRD tidak ada ambang batas, untuk provinsi berjumlah 35-120 kursi dengan alokasi per dapilnya 3-12 kursi dan di kabupaten/kota 20-55 kursi yang alokasinya 3-12.

Untuk dapil sendiri, dibagi menjadi 3 beserta alokasi kursi anggota parlemen. Dapil kecil kebagian 2-5 kursi, sedang punya 6-10 kursi, dan besar bisa mencapai 11 lebih kursi.

Artinya secara teori, semakin besar dapil, semakin kecil persentase suara yang diperlukan untuk meraih kursi. Semakin besar dapil, semakin besar persentase suara yang diperlukan untuk meraih kursi.

Tidak hanya itu, pada prakteknya dapil kecil menguntungkan partai besar dan dapil besar menguntungkan partai kecil.

Sebab, dapil kecil mendorong penyederhanaan sistem kepartaian, karena ada ambang batas terselubung atau hidden threshold.

Bicara soal fungsi ambang batas, Pramono menilai ini sangat diperlukan untuk mengurangi jumlah parpol di parlemen dan menyaring parpol peserta pemilu berikutnya.

Ambang batas memang memperkecil peluang partai kecil untuk meraih kursi parlemen. Namun di sisi lain dibutuhkan untuk menyingkirkan partai-partai yang gagal mendapatkan dukungan signifikan pemilih.

“Banyaknya parpol peserta pemilu akan membingungkan pemilih saat memberikan suara, serta menelan banyak biaya,” ujar Pramono.

Pada Pemilu 2024 KPU masih menggunakan metode Divisor Sainte Lague/Webster. Metode ini kerap dipakai untuk konversi perolehan suara partai politik ke kursi parlemen, atau metode untuk menentukan perolehan kursi parpol di DPR atau DPRD.

Cara menerapkan metode ini adalah dengan menghitung terlebih dahulu perolehan suara setiap parpol secara nasional. Parpol yang peroleh suara kurang dari 4% dieliminasi, tidak berhak menempatkan wakil-wakilnya di DPR RI. Sehingga, menyisakan parpol-parpol dengan perolehan suara nasional sekurang-kurangnya 4%.

Sedangkan untuk menerapkan metode konversi suara adalah dengan menghitung suara sah setiap parpol di satu dapil atau gabungan perolehan suara parpol dan caleg. Suara sah setiap parpol dibagi dengan angka ganjil, seperti 1, 3, 5, 7, dan seterusnya.

Hasil pembagian diurutkan dari yang paling besar. Urutan 1 mendapat kursi ke-1, urutan 2 mendapat kursi ke-2, urutan 3 mendapat kursi ke-3, dan seterusnya sampai habis seluruh kursi di satu dapil.

Dari edisi ke edisi, Pramono melihat ada kecenderungan perubahan setiap pemilu diadakan. Pada awal reformasi, muncul kecenderungan untuk memberikan ruang demokrasi lebih luas, seperti Pemilihan Presiden (Pilpres) langsung tahun 2004, Pilkada langsung 2005, dan proporsional daftar terbuka sejak 2004.

Sejak 2009 mulai dilakukan pengaturan yang mengarah ke limitasi. Contohnya, ambang batas parlemen, syarat pencalonan Pilkada makin tinggi, dan lainnya

“Sejak 2015 dilakukan pengaturan yang mengarah ke penyerentakan, yaitu pemilu lokal dan pemilu nasional. Lalu, 2024 ke mana arah berikutnya?” tanya Pramono.

Sedangkan Hamdan Kurniawan, S.I.P., M.A., Ketua KPU DIY, berkomitmen menyelenggarakan Pemilu berdasarkan prinsip demokrasi dari hak pilih universal dan kesetaraan politik.

“Seperti yang dicerminkan pada standar dan perjanjian internasional, dan yang profesional, tidak memihak serta transparan dalam persiapan dan pengelolaannya melalui siklus pemilu,” tegas Hamdan. (*)


Wartawan: Dzikril Firmansyah

Comment

Your email address will not be published

There are no comments here yet
Be the first to comment here