MediaMU.COM

MediaMU.COM

Portal Islam Dinamis Berkemajuan

Apr 28, 2024
Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Seminar Pra-Muktamar (2): Keberadaan Medsos Tidak Bisa Dipandang Sebelah Mata

Ismail Fahmi memaparkan sebaran data perbincangan media sosial. Foto: Dzikril Firmansyah/mediamu.com

BANTUL – Di era digital ini Muhammadiyah dituntut berperan aktif menguasai narasi di dunia digital, terutama media sosial. Hal tersebut menjadi salah satu point bahasan sesi pertama Seminar Pra-Muktamar Muhammadiyah 2022, Rabu (10/3), di Amphitarium Kampus 4 Universitas Ahmad Dahlan (UAD).

Sesi pertama menghadirkan narasumber Ismail Fahmi, Ph.D. (Pendiri Drone Emprit), Dr. Muchlas, M.T. (Rektor UAD, Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah), Agus Sudibyo (Dewan Pers), dan Wahyudi Akmaliah (Peneliti BRIN).

Ismail Fahmi menilai, keberadaan media sosial tidak bisa dipandang sebelah mata atau dikesampingkan. Medsos sering menjadi pembentuk pandangan umum maupun narasi umum di realitas masyarakat.

Dari fakta tersebut, ia berharap Muhammadiyah ikut aktif dalam perbincangan medsos melalui narasi positif yang dimilikinya untuk dipublikasikan dan diharapkan menjadi narasi umum di masyarakat.

Hal tersebut sangat penting untuk diungkapkan, karena Ismail melihat, dibandingkan Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah di media sosial masih minim keterwakilan oleh influencer. Terlebih, sekarang ini perbincangan tentang Islam di medsos lebih banyak diafiliasikan kepada tindakan radikal, intoleran, dan khilafah, sehingga mengakibatkan Islam direpresentasikan secara negatif.

“Di sinilah pentingnya kehadiran Muhammadiyah. Membangun sesuai yang diinginkan dan membawa yang kita inginkan di media-media sosial,” jelas Ismail.

Sedangkan Muchlas menyebut, era digital yang didominasi medsos bagi beberapa kalangan dianggap sebagai era matinya kepakaran. Mengutip tesis Tom Nichols, ia menyebutkan bahwa era kini dengan maraknya media sosial dan citizen journalism menyebabkan matinya kepakaran tidak sepenuhnya benar. Justru yang mati di era kekinian bukanlah kepakaran melainkan diseminasi hasil dari kepakaran.

Muchlas berujar mengutip Connectivism Theory, boleh jadi matinya kepakaran adalah tanda kemajuan. Pengetahuan tidak tersimpan dalam diri pakar saja, tetapi tersebar di semua platform digital.

“Masalahnya di sini, kepakaran sebenarnya tidak mati. Jika ilmu pengetahuan dipelihara di lembaga-lembaga pengetahuan, seperti perguruan tinggi, maka kepakaran tidak akan mati. Tapi yang mati adalah diseminasinya, desiminasi dari kepakaran,” imbuhnya.

Oleh karena itu, Muchlas mendorong kader dan intelektual Muhammadiyah, baik kalangan kampus maupun pimpinan Muhammadiyah, agar memerankan diri sebagai influencer. Atau setidaknya mengerti dan menguasai berbagai platform media digital, sebagai kanal mensyiarkan dakwah Muhammadiyah.

Sementara itu Agus Sudibyo mengamati masyarakat masih terpaku menggunakan teknologi sebatas membangun ekonomi kreatif, meningkatkan ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Hal tersebut tidak salah, tetapi tidak kalah penting adalah bagaimana masyarakat terutama aktivis mampu mengkaji, membahas, melakukan riset, dan menulis buku dengan cara pandang yang kritis terhadap fenomena digitalisasi.

Jika masyarakat, terutama warga Muhammadiyah bisa menyeimbangkan perspektif optimis sekaligus kritis terhadap digitalisasi, maka masyarakat akan bisa menangkap faedah dan manfaatnya. Dengan begitu tidak menjadi anti terhadap transformasi digital serta bisa mengantisipasi dampak residu yang muncul, baik yang negatif sebagai individu, persyarikatan, maupun sebagai entitas warga negara Indonesia.

“Sehingga, kita tidak naif tapi tidak juga anti terhadap gelombang digitalisasi,” tandasnya.

Wahyudi Akmaliah memaparkan point-point yang harus dilakukan Muhammadiyah dalam menghadapi era digitalisasi:

  1. Redefinisi ideologi moderat dari Muhammadiyah yaitu Islam berkemajuan.
  2. Setiap tindakan amal usaha Muhammadiyah harus dipamerkan/didokumentasikan di media apapun secara langsung dan warga Muhammadiyah harus menyebarkan tanpa merasa tidak enak
  3. Menyiapkan dai-dai Muhammadiyah dengan proses eksperimentasi mengisi celah algoritmik otoritas keagamaan.
  4. Dakwah agama adalah marketing.
  5. Integrasi institusi, antara pendidikan dengan marketplace.
  6. Menyiapkan para ahli fiqh dan ushul fiqh menjawab tantangan isu keagamaan yang muncul dalam struktur kecerdasan buatan.
  7. Mendefinisikan ulang struktur kerja dalam organisasi Muhammadiyah .

“Warga persyarikatan tentu harus bisa memaksimalkan berbagai platform dan media sosial untuk bisa menggaungkan dakwah Muhammadiyah melalui berbagai kanal, kemudian bisa menciptakan masyarakat yang berjaringan,” terang Wahyudi. (*)

Wartawan: Dzikril Firmansyah
Editor: Heru Prasetya

Comment

Your email address will not be published

There are no comments here yet
Be the first to comment here