Seminar Pra Muktamar (3): Ada Fenomena Dana Melimpah untuk Media Konservatif
BANTUL – Perihal kelompok-kelompok yang unggul dan berkuasa dalam dakwah Islam secara digital dibahas dalam sesi kedua Seminar Pra-Muktamar, Kamis (10/3). Kegiatan PP Muhammadiyah ini diselenggarakan di Amphitarium Kampus 4 Universitas Ahmad Dahlan (UAD).
Pada sesi tersebut Makroen Sanjaya membahas persoalan ideologi Islam di ruang digital. Mengutip kajian yang pernah dilakukan seorang peneliti, ia menyebut lima narasi Islam yang muncul di media sosial, yakni liberalisme, moderatisme, konservatisme, islamisme, dan radikalisme.
Berdasarkan analisisnya, deretan media dakwah teratas adalah yang dekat dengan paham konservatif, seperti Rodja TV dan Al-Bahjah. Demikian juga untuk tokoh-tokoh influencer dakwah, seperti Felix Siauw dan Khalid Basalamah.
Pengajar di Universitas Muhammadiyah Jakarta dan UIN Syarif Hidayatullah ini menyebutkan bahwa ada fenomena digital capitalism di tengah media-media tersebut. Fenomena itu dijelaskan dengan melimpahnya dana para “dermawan” yang menyumbang proses produksi TV dan media dakwah tersebut.
Narasumber lain adalah Hikmawan Saefullah, alumni Australian National University. Menurutnya, media baru atau media sosial belum dimanfaatkan secara maksimal oleh Muhammadiyah. Persyarikatan ini masih relatif kalah populer dibandingkan portal media komunikasi dan informasi kelompok Islam yang lain.
Meminjam istilah Prof. Amin Abdullah, Hikmawan menggunakan terminologi Islam official untuk menyebut lembaga atau organisasi dakwah resmi yang membangun otoritas keagamaan sejak lama, seperti Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU). Sedangkan, gerakan Islam baru disebutnya Islam oposisional.
Dalam dakwah digital, gerakan Islam oposisionel malah dinilai cepat beradaptasi. Pasca jatuhnya rezim orde baru, terdapat transformasi anak muda yang dulunya terkesan progresif dan cenderung kiri kini lebih tertarik ke arah konservatif dan cenderung kanan.
Fakta bahwa Indonesia berada di peringkat keenam negara dengan ketimpangan sosial terburuk menjadi salah satu faktornya. Melalui penelitiannya, ia menemukan bahwa anak-anak muda mencari platform yang mampu menjelaskan keadaannya yang tertekan secara sosial dan ekonomi.
“Lambatnya Muhammadiyah menjadikan sebagian masyarakat mencari alternatif media lain dari kelompok Islam yang lebih cepat dalam memanfaatkan media baru,” jelasnya.
Dalam pandangannya, media-media dakwah lain tersebut menawarkan solusi atas kebutuhan mereka melalui narasi-narasi yang dibangun.
Bila ditarik lebih lanjut, frustasi dan kekecewaan angkatan muda dapat dimanfaatkan pihak-pihak yang berkepentingan dalam kelompok-kelompok Islam garis keras. Kreativitas kelompok-kelompok itu pun merebut hati masyarakat luas.
“Muhammadiyah harus mampu secara radikal berkompetisi dengan kelompok media lain dalam menyebarkan dakwahnya,” tegasnya. Ini bukan hanya soal beradaptasi dengan media digital, namun bagaimana dapat memberi solusi atas masalah riil yang dihadapi masyarakat.
Hal tersebut membutuhkan strategi terarah dan langkah fleksibel untuk dapat menjawab berbagai isu menyangkut kehidupan sehari-hari para warganya. (*)
Wartawan: Ahimsa W. Swadeshi
Editor: Heru Prasetya
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow