Seminar Pra-Muktamar (4-Selesai): Karakter Media Sosial Berbeda-beda
BANTUL – Sudahkah Muhammadiyah melakukan pembaharuan dalam strategi dakwah di era digital? Seminar Pra-Muktamar di Amphitarium Kampus 4 Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Kamis (10/3), mengupas lingkaran persoalan yang belum usai tersebut.
Pemateri Abdullah Sammy dari Republika dan Fahd Pahdepie, M.A., influencer muda, mencoba mengurai persoalan itu. Menurut Abdullah Sammy, hampir seluruh lini kehidupan terdisrupsi oleh globalisasi.
Ia menjelaskan kondisi pengguna smartphone, internet, serta media sosial di Indonesia, juga media apa saja yang akrab digunakan masyarakat.
YouTube masih paling diminati oleh 90% masyarakat Indonesia. Disusul oleh Instagram, Facebook, dan Twitter. Sedangkan TikTok meskipun tidak berada di ranking teratas, namun penggunaannya relatif masif khususnya oleh anak muda.
“Karakteristik tiap media sosial berbeda,” jelas Sammy. Sehingga, setiap kemasan konten yang terkait dengan dakwah juga harus berbeda.
Tantangan Muhammadiyah muncul dari internal maupun eksternal. Dari eksternal, organisasi ini dituntut mendorong warganet agar mengenal, tertarik, dan betah dengan media Muhammadiyah.
Sedangkan internal, Muhammadiyah dituntut konsisten dan kreatif mengelola dakwah. Konsisten itu bukan hanya tiap hari upload. Juga performance, manajemen media, serta pengelolaan sumber daya manusia yang baik.
Fahd Pahdepie mengingatkan, “Ketika Muhammadiyah memikirkan bagaimana memindahkan dakwah konvensional menjadi digital, industri media sudah tidak lagi berpikir ke situ.”
Industri media sudah lebih jauh beranjak. Cepatnya perkembangan dunia digital yang terjadi kadang membuat manusia lalai bahwa perubahan itu sudah dan sedang terjadi. Ia menyebutkan beberapa fenomena seperti virtual world, mixed reality (dimana realitas bisa tertukar antara yang nyata dan maya), augmented reality, virtual economy, dan lain-lain.
Muhammadiyah bisa dikatakan sangat ketinggalan dari prinsipnya sendiri, yaitu pembaharuan. Organisasi ini masih banyak terfokus pada mengonversi hal konvensional menjadi digital, padahal perubahan ini bukan hanya soal tampilan dan platform.
Seharusnya, Muhammadiyah sudah selesai memikirkan dakwah digital dan segera mulai langsung menjalankan. Pembahasan haruslah didorong ke arah dunia digital yang lebih kontekstual seperti cryptocurrency, fiqih digital, pengembangan Universitas Siber Muhammadiyah, pengadaan virtualhospital, dan sebagainya.
“Jangan hanya kemasan. Kemasan itu penting, tapi tanpa konsep dan eksekusi yang matang, kita hanya akan sampai pada membuat media-media sosial baru serta membuat dan mendesain blog,” katanya.
Padahal, bukan itu yang dibutuhkan, melainkan benar-benar memanfaatkan sesuai dengan yang dibutuhkan di masa sekarang.
Fahd menyuguhkan prinsip 7C untuk pengembangan dakwah digital, yakni content (narasi yang dibangun), context (ketepatan waktu dan tempat), community (target sasaran), collaboration (kolaborasi agar Muhammadiyah tidak perlu melakukan semuanya sendiri), communication (komunikasi), captures (dokumentasi), serta change atau perubahan. (*)
Wartawan: Ahimsa W. Swadeshi
Editor: Heru Prasetya
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow