Pesan Tersirat Buya Syafii: Shalat dan Masjid
Oleh: Sucipto
Buya Syafii Maarif adalah pendidik. Karir akademiknya adalah pencapaian guru besar di Universitas Negeri Yogyakarta. Dalam sejarah hidupnya darah sebagai guru tak pernah hilang dimanapun ia menginjakkan kaki. Di antaranya pernah menjadi guru di Lombok, NTB, juga di Baturetno, Wonogiri.
Ia pernah menjadi seorang dosen yang tidak hanya menghabiskan waktunya di dalam kampus. Bahkan kemudian di hari tuanya justru Buya Syafii seolah tak pernah kehilangan energi untuk terus mencerahkan bangsa melalui ceramah-ceramahnya di berbagai forum dan juga tulisan-tulisan di berbagai media. Seiring bergulirnya waktu Buya layak diberi gelar sebagai guru bangsa.
Bagi yang akrab dengan kesehariannya di Yogyakarta, maka Masjid Nogotirto akan melekat pada dirinya. Masjid itu menjelma bagaikan sebuah sekolah atau universitas bagi siapapun yang ingin mencicipi ilmu dari BuyaSyafii. Masjid itu adalah tempat paling umum bagi para murid entah itu angkatan muda Muhammadiyah atau masyarakat umum untuk bertemu beliau. Tidak sedikit juga warga NU yang menjadikan beliau sebagai guru. Bahkan Gus Mus dengan penuh haru menyampaikan duka cita atas wafatnya Buya, merasa kehilangan seorang tokoh muslim hingga ia menyebutnya sebagai wali.
Banyak sudah artikel dan forum yang membahas pemikiran atas tulisan dan ucapan Buya. Menurut saya yang tidak kalah penting, jika kita menganggap Buya Syafii sebagai guru, maka bukan hanya yang terucap dan tertulis itu yang bisa kita jadikan sumber pembelajaran. Jika kita andaikan bahwa masjid itu adalah sekolah maka dalam khasanah pendidikan, apa yang ditulis dan diucapkan Buya itu sebagai bagian dari formal/official curriculum dan yang tak tertulis itu adalah hidden curriculum.
Menurut Giroux (1983) “The hidden curriculum is defined as unstated norms, values, and beliefs embedded in and transmitted to students.” Ini adalah nilai-nilai, norma-norma dan keyakinan tak tertulis yang tertanam dan tersampaikan kepada murid. Kurikulum terselubung dapat membawa pesan negative maupun positif bagi murid.
Dalam artikel ini saya ingin membongkar pesan tersirat (hidden messages) Buya Syafii berkaitan dengan masjid, ketekunan ibadah dan pengaruh positifnya bagi pembangunan karakter pribadi.
Jangan Jauhi Masjid
Saat masih aktif di IMM, saya bersama teman-teman kader berkunjung menemui Buya. Kami harus mengincar waktu shalat berjamaah, baik itu maghrib, isya, bahkan shubuh. Selesai shalat kami akan otomatis membuat forum kecil, menyapa, mengenalkan diri, memohon disediakan waktu dan menyimak sepatah dua patah kata dari Buya. Setiap kali bertemu pasti akan ada semangat yang tertular. Yakni gairah menuntut ilmu dan semangat menjadi intelektual muslim. Itu yang tertanam paling tidak pada diri saya. Kini saya mencoba mengambil pesan tersembunyi dari identiknya Buya dengan masjid.
Ini menegaskan bahwa bagi seorang muslim keberadaan masjid itu penting. Bukan hanya untuk beribadah juga untuk belajar dan kegiatan sosial lain. Seolah beliau berpesan “Jangan jauhi masjid. Jadilah intelektual dan jangan tinggalkan masjid. Jadilah generasi muda dan jangan tinggalkan masjid. Jadilah aktivis dan jangan tinggalkan masjid.”
Jika mau mengubah sedikit pesan Kiai Ahmad Dahlan saya mengimajinasikan Buya Syafii berujar “hendaklah warga muda-mudi terus menjalani dan menempuh pendidikan serta menuntut ilmu pengetahuan dimana dan kemana saja. Menjadilah dokter sesudah itu kembalilah ke masjid. Jadilah master, insinyur, dan professional lalu kembalilah ke masjid.”
Begitulah Buya Syafii, manakala setelah beberapa hari keluar kota ataupun keluar negeri setelah bertemu banyak orang lintas agama, golongan dan sebagainya. Setelah bertemu politisi, agamawan, akademisi, rakyat biasa maka setelah itu Buya akan kembali ke masjid di dekat rumahnya di Nogotirto. Apa yang Buya tunjukkan adalah lebih dari kata-kata. Hatinya terikat dengan masjid.
Buya secara nyata memakmurkan masjid. Mengamalkan perintah Allah dalam Al Qur’an surat at-Taubah ayat 18: “Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) kecuali kepada Allah, maka semoga mereka menjadi golongan yang mendapatkan petunjuk.”
Pribadi Buya yang sederhana, yang sangat peduli terhadap sesama dan berani menyuarakan kebenaran bisa jadi buah dari kedekatannya dengan masjid. Bukan hanya lahiriah namun juga secara rohaniah.
Meski pernah kuliah di Chicago, AS, dan meraih puncak gelar akademik guru besar, bukan menjauhkan diri dari masjid dan menjadi akademisi yang elitis justru mudah dijumpai di masjid.
Jangan Tinggalkan Shalat
Banyak orang menjadi saksi bahwa Buya adalah disiplin dalam beribadah. Meskipun tak pernah menulis dan ceramah secara khusus tentang keutamaan shalat, Buya Syafii mengamalkan bahwa dirinya sebagai seorang yang taat beribadah yang tak pernah meninggalkan shalat. Hingga usia sepuhnya sering terlihat shalat dengan cara duduk di berbagai tempat.
Dengan demikian ia juga mengajarkan, meskipun berfikir bebas sering mengungkapkan wacana dan aksinyata pluralisme bukan berarti hilang jati diri sebagai muslim yang teguh. Buya banyak dicerca dan dicap orang sebagai liberal namun penghambaan Buya melalui shalat terlihat khusyuk. Bahkan kepasrahannya kepada Sang Pencipta, aklaqnya kepada Tuhan itu inspirasi darinya bagaimana akhlaqnya kepada sesama menjadi rahmatan lil’alamin.
Shalat telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Karena memang shalat menjadi isu yang penting bagi aktivis Gerakan Muhammadiyah. Shalat mengingatkan kita pada kisah AR Sutan Mansur yang sangat masyhur di kalangan Muhammadiyah. Diceritakan, suatu hari Sutan Mansur tertarik dengan ceramah Kiai A. Dahlan saat di Pekalongan. Singkat cerita tanpa sepengetahuan Kiai Dahlan, ia mengikutinya kembali ke Yogyakarta. Dicari tahu tempat biasanya Kiai Dahlan melaksanakan shalat. Lalu, sebelum Shubuh ia sudah menuju tempat tersebut untuk mengetahui jam berapa Kiai Dahlan dating ke masjid.
Ternyata Kiai Ahmad Dahlan sudah berada di masjid itu lebih dulu darinya. Ia kemudian menilai: “Pantas kalau Kiai Dahlan mengaku sebagai pimpinan Muhammadiyah”. Orang yang mengawasi Kiai Dahlan itu kemudian dikenal sebagai Buya AR Sutan Mansur dan menjadi ketua Muhammadiyah ke-6 setelah periode kepemimpinan Ki Bagoes Hadikusumo.
Selain itu, shalat juga selalu mengingatkan teologi Al Ma’uun. Satu ajaran Kiai Dahlan yang sangat fenomenal. Bahwa muslim yang telah mendirikan shalat jangan sampai mendustakan agama. “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (QS. Al Ma’uun: 1-7).
Buya sering berpesan untuk tidak mempunyai sifat munafik. “Jangan seperti pemimpin sekarang, banyak pemimpin pecah kongsi antara ucapan dan tindakan,” kata Buya yang banyak dikutip media. Maka jika ingin menjadi pribadi yang baik juga menjadi pemimpin yang amanah latihannya di antaranya adalah disiplin mendirikan shalat. Karena disiplin menunaikan shalat itu dapat dapat menjauhkan diri dari sifat munafik.
“Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An Nisaa’: 142).
Banyak foto-foto saat Buya shalat di tempat duduknya. Saya sendiri pernah menjumpai beliau shalat di ruang transit masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (IC UAD). Saat itu beliau diundang menjadi pembicara bedah buku tentang Buya Hamka di penghujung tahun 2017.
Acara waktu itu di aula IC UAD. Setelah acara berlangsung tak lama adzan dzuhur. Semua panitia dan peserta bersiap menuju masjid di lantai 2. Saya berniat menemani Buya di ruang transit, karena waktu itu sudah takmampu naik tangga. Saya bergegas masuk ruangan, sesampainya di pintu saya lihat Buya sedang menunaikan shalat dengan duduk di kursi di ruang transit.
Shalat mengajarkan keikhlasan, “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam (QS. Al-An’am: 162).
Lebih jauh, shalat mengajarkan sifat tawadhu (rendah hati). Karena ketika sujud dalam shalat, kepala dan kaki kita sama derajatnya, bahkan dalam shalat setiap orang sama derajatnya. Ini menjauhkan diri dari sifat tinggi hati. Sebab kemuliaan yang hakiki hanya pantas dimiliki Allah SWT.
Demikianlah budaya hidup yang kemudian membawa pengaruh positif pada diri Buya yang dapat kita jadikan pembelajaran. Sehingga Buya menjadi pribadi yang ikhlas tak mau banyak dilayani.
Suatu hari saya ditugasi UAD untuk menjemput beliau yang diundang sebagai penceramah acara Syawalan bagi sivitas akademika UAD. Saya berangkat menjemput Buya kerumahnya di Nogotirto dengan menaiki mobil dinas rektor.
Saya sampaikan kepada sopir bahwa biasanya Buya tidak mau dijemput, memilih berangkat sendiri. Dan benar. Sesampainya kami di depan rumah, sudah tampak Buya yang masih mengenakan kaos putih sedang membersihkan debu mobil dengan kemoceng.
“Saya dari UAD, ditugaskan untuk menjemput Buya,” kata saya.
“Tidak usah, saya akan berangkat sendiri,” kata beliau dengan khas ekspresi dan logat Minangnya. Buya pun “mengusir” kami dengan tersenyum.
Kami pun menuju kembali ke kampus. Menyampaikan kepada pimpinan, panitia, dan juga BPH saat itu (Alm. Prof. Dr.Yunahar Ilyas) bahwa Buya akan hadir sendiri. Sesampainya di kampus saya menyambut dan mendampingi Buya naik tangga (saat itu masih kuat) dan sekilas saya bercerita saya dari Baturetno, desa dimana ia pernah menjadi guru disana dan Buya pun menatapsaya, menepuk-nepuk bahu saya.
Buya yang baik hati tidak lepas dari cemooh banyak orang. Bagi Buya pujian tidak membuatnya terbuai dan cacian tidak membuatnya mundur. Yang dicari hanyalah ridha Allah. Itulah modal keikhlasan sebagai buah kekusyukan shalat. Lain hal dengan seseorang yang tidak ikhlas, akan cepat terbuai dan lupa diri bila mendapatkan pujian dan cepat berputus asa menghadapi segala rintangan dalam perjuangan.
Allah berfirman “Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Dan (shalat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk” (Al Baqorah: 45)
Saya berpikir, jangan-jangan inilah rahasia kenapa Buya tetap cemerlang pemikirannya serta tak suka dilayani. Pun shalat menjadi penolongnya untuk tetap optimis saat harus terus menjadi penyeru moral di tengah bangsa yang (meminjam diksi Buya) kerusakan negeri yang nyaris sempurna.
Sudah banyak nilai yang disampaikan Buya Syafii melalui tulisan, ucapan dan juga laku kehidupan. Tentunya bukan hanya untuk dibahas namun yang lebih penting adalah untuk diteladanani.
Pesan terakhir dan dan tak kalah penting adalah kandungan Surat Ali Imran ayat 185, seperti dikutip Pak Amien Rais saat diwawancari TV One pada 27 Mei 2022. “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” Pak Amien berkata, “Kita semua akan mengikuti Pak Syafii.” (*)
Penulis adalah Dosen UAD dan Redaktur mediamu.com
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow