Wacana Zakat untuk Perguruan Tinggi Muhammadiyah
YOGYAKARTA — Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah sukses menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) “Fikih Zakat Kontemporer” pada hari Ahad (23/6/2019) bertempat di Hotel Tjokro Style Yogyakarta.
Kegiatan yang diadakan bekerjasama dengan Pusat Tarjih Muhammadiyah Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta ini dihadiri Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, anggota Majelis Tarjih, Pimpinan Lazismu, dan beberapa akademisi lainnya.
Prof. Yunahar Ilyas selaku perwakilan dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah memberikan sambutan sekaligus membuka acara FGD ini.
Dalam sambutannya, Prof. Yunahar menyampaikan bahwa dalam beberapa kesempatan Lazismu sering bercerita tentang munculnya permasalahan-permasalahan baru dalam zakat. “Sehingga perlu penelaahan yang mendalam terkait masalah ini,” tandas Yunahar.
Karenanya, FGD ini begitu penting. Sebab, hal itu untuk menjawab tantangan-tantangan paling mutakhir dalam zakat kontemporer.
Prof. Yunahar kemudian mengangkat satu permasalahan yang menjadi topik perdebatan di Majelis Ulama Indonesia (MUI), yaitu tentang zakat perusahaan.
Menurutnya, ada satu pandangan dari Prof. Didin Hafiduddin yang punya keinginan agar perusahaan-perusahaan besar dikenai zakat.
“Akan tetapi pandangan tersebut ditentang oleh Prof. Amir Syarifuddin yang menegaskan bahwa tidak ada perusahaan yang masuk neraka, dan yang masuk neraka itu permilik perusahaannya,” kata Yunahar.
Artinya, kata Yunahar, bukan perusahaannya yang harus membayar zakat. “Tetapi ashabu-nya, pemiliknya,” papar Yunahar.
Prof. Yunahar kemudian menilai pendapat kedua pakar hukum Islam tersebut.
Menurutnya, perbedaan pandangan antara Prof. Didin dengan Prof. Amir terletak pada teks dan konteks.
Pandangan Prof. Amir yang menegaskan bahwa zakat hanya dikenai pada pemilik perusahaan, sebab teks normatif dalam Qur’an dan sunah menunjuk person, bukan korporat.
Sementara itu, Prof. Didin yang menilai perusahaan wajib bayar zakat didasarkan pada pertimbangan kemashlahatan yang lebih besar.
Menurut Prof. Yunahar, MUI akhirnya memutuskan perusahaan wajib membayar zakat. “Sebab pendapatannya lebih untung,” tandas Yunahar, yang menambahkan secara umum pola pembayaran dan penghitungan zakat perusahaan juga bisa dianggap sama dengan zakat perdagangan atau trading. Begitu pun dengan kadar nisabnya setara dengan 85 gram emas.
Prof. Yunahar menambahkan bahwa kalau sekiranya zakat dibebankan pada pemilik perusahaan, hampir kebanyakan dari mereka tidak menunaikan zakat. “Tetapi dengan dibebankannya zakat pada perusahaan, biasanya mereka sepakat, ikhlas, dan tepat waktu, lebih-lebih zakat dari perusahaan keuntungannya bagi Baznas itu sangat besar,” kata Yunahar.
Apa yang disampaikan Prof. Yunahar sebetulnya untuk melemparkan wacana agar Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) sama dengan perusahaan, yaitu dikenai wajib zakat setiap tahun.
Menurut Prof. Yunahar, Majelis Tarjih bisa saja mengeluarkan keputusan dan ketentuan detailnya terkait zakat PTM.
Misalnya, membuat suatu rumusan terkait tiap-tiap PTM yang tersebar di seluruh Indonesia dikenai zakat 2,5 persen untuk setiap tahun. “Kalau hal ini berjalan dengan baik,” kata Prof. Yunahar, “Lazismu tinggal mengambil hasilnyadan tidak perlu repot-repot dengan berbagai persyarakat administratif.” (*/Affan)
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow