Webinar Green ‘Aisyiyah: Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Membentuk Proklim
Webinar Green ‘Aisyiyah. Foto: Afifa/mediamu.com
YOGYA – Bumi ini d yang berguna untuk melindungi penghuninya, termasuk manusia. Hal itu disampaikan Ir. Laksmi Dhewanthi, M.A. (Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan/KLHK) dalam Webinar Nasional dengan tema “Green ‘Aisyiyah, Gerakan Mengatasi Bencana Akibat Dampak Perubahan Iklim”, Jum’at (23/7). Acara ini diselenggerakan Lembaga Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana (LLHPB) Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah.
“Karena adanya partikel-partikel gas kaca, maka selimut tersebut terganggu fungsinya. Seharusnya bisa memberikan panas yang lebih, namun terpantul kembali. Inilah yang selalu dan terus terjadi, sehingga suhu permukaan bumi terus meningkat. Hal ini juga efek dari rumah kaca,” jelas Laksmi.
Adanya peningkatan suhu udara, suhu air laut, keasaman laut, muka air laut, frekuensi iklim ekstrim/anomali iklim, dan perubahan pola musim/cerah hujan merupakan bahaya dari perubahan iklim yang perlu diwaspadai.
Perubahan iklim di Indonesia cenderung meningkat (1.5 derajat celcius) namun lebih rendah dibandingkan kenaikan suhu global (2 derajat celcius). Curah hujan agak bergeser, tinggi muka air laut di permukaan meningkat. Musim kemarau menjadi lebih kering, namun musim penghujan dan masa peralihan menjadi lebih basah.
Perubahan iklim berpotensi meningkatkan kejadian bencana hidrometrologi, seperti kekeringan, banjir, badai, kebakaran hutan, longsor, tornado, angin puyuh, topan, puting beliung, gelombang dingin, gelombang dingin, dan abrasi pantai. Di samping itu perubahan iklim mengakibatkan kerusakan ekosistem hutan, punahnya satwa dan tumbuhan, danau, terumbu karang, serta berdampak pada masyarakat, seperti gangguan kesehatan, kelangkaan air bersih, kerusakan infrastruktur, hilangnya mata pencaharian, dan penurunan perekonomian.
Masa pandemi sekarang menjadi tantangan besar dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan. Kebijakan pengendalian perubahan iklim, yaitu mitigasi dan adaptasi. Mitigasi adalah pengurangan emisi untuk mencegah peningkatan suhu global, misalnya dahulu sampah dibakar, kini sampah harus dipilih untuk didaur ulang atau dibuang ke tempat pembuangan akhir. Sedangkan adaptasi adalah penyesuaian diri, misalnya dahulu petani dapat memberikan prediksi turunnya hujan ketika menanam padi, namun kini sulit diprediksi, sehingga menteri pertanian membuat bibit yang tahan dalam perubahan tersebut.
Tentang Program Kampung Iklim (Proklim) Laksmi menjelaskan, dibentuk sebagai upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim agar dapat meningkatkan kesejahteraan di tingkat lokal sesuai kondisi wilayah. Program ini bertujuan meningkatkan keterlibatan masyarakat dan memberikan pengakuan terhadap upaya adaptasi dan mitigasi yang telah dilakukan.
Proklim diluncurkan pada Oktober 2011 dan menjadi gerakan nasional pada Desember 2016. Di antara program ini berupa teknologi adaptif, seperti daur ulang air limbah, irigasi tetes, rumah panggung, aquapronik, rumah panggung, dan pompa hidran.
“Pilihan aksinya harus beragam, harus berbeda, dan sesuai kondisi lingkungan. Dengan kebersamaan, tekad, dan kepercayaan kita semua, tantangan ini bisa dilalui dengan baik. Regulasi dan aksi nyata harus berkesinambungan, dan kemudian berkolaborasi,” papar Laksmi. (*)
Wartawan: Afifatur Rasyidah I.N.A.
Editor: Sucipto
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow