Webinar LP2PPM: Belajar dari Kehidupan Pak AR
YOGYA – Salah satu tokoh Muhammadiyah yang namanya sampai sekarang sering disebut-sebut karena banyak contoh yang bisa diambil adalah Kiai Haji Abdul Rozak Fachruddin atau KH AR Fachruddin alias Pak AR. Ia menjadi Ketua PP Muhammadiyah selama 32 tahun (1968-1990).
Untuk mengenal lebih dekat Pak AR, Lembaga Pengembangan Pesantren Pimpinan Pusat Muhammadiyah (LP2PPM) mengadakan webinar “Tokoh Kita” edisi K.H. A.R. Fachrudin (profil, perjuangan, dan pengabdian untuk persyarikatan dan umat), Jum’at (1/10). Hadir menyampaikan paparannya adalah Drs. Sukriyanto AR, M.Hum. (Ketua LSBO PP Muhammadiyah/putera Pak AR) dan Dr. Khoiruddin Bashori, M.Si. (Wakil Ketua LP2PPM).
Sukriyanto mengatakan bahwa Pak AR lahir pada tanggal 14 Februari 1916 di Pakualaman, Yogyakarta. Putra penghulu Pakualaman, K.H. Fachrudin dan Maimunah.
Jadi, Pak AR itu sebenarnya orang desa, tapi lahir di kota. Semasa mudanya, menempuh pendidikan di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Pernah sekolah di Standard School Muhammadiyah (Bausasran) tahun 1923. Pindah ke SD Muhammadiyah Kotagede tahun 1925 hingga lulus.
Di SD Muhammadiyah Kotagede Pak AR pernah menjuarai lomba pidato saat kelas 5 dan mendapat hadiah tas berisi macam-macam alat tulis. Waktu itu, harganya sekitar 35 sen.
Setelah tamat, tahun 1928, melanjutkan pendidikan di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Tetapi di sini hanya bertahan sampai kelas dua karena kesulitan biaya. Usaha batik ayahnya sudah jatuh sehingga tidak bisa membiayai lagi.
Keluar dari Madrasah Mu’allimin, Pak AR kembali ke desa. Lalu bertemu Dawam Rozie, lulusan Mu’allimin yang mendirikan sekolah Darul Ulum Muhammadiyah, Wanapetu, Sewugalur, Kulonprogo. Pak AR lantas ditarik menjadi murid pertama di sana.
K.H. Hisyam, Ketua PP Muhammadiyah, tahun 1935 menugaskan Dawam Rozie untuk mengabdi ke luar Jawa, tepatnya di Talangbalai, Sumatera.
Ketika ditugaskan itu Dawam meminta seseorang untuk menemani. Orang yang dimintanya adalah Pak AR. Awalnya, beliau protes, karena masih kelas dua sudah disuruh ikut mengajar. Namun, Dawam Rozie sebagai gurunya tetap mengajak untuk ikut serta.
Karena masih kelas dua, untuk bisa mengajar, Pak AR dilatih terlebih dahulu oleh Dawam Rozie dengan berbagai pelajaran. Setelah enam bulan berjalan, Dawam Rozie pulang ke Yogyakarta dan Pak AR tetap di Talangbalai. Disana Pak AR harus melakukan semua secara mandiri dan otodidak, termasuk mengajar. “Honor yang diterima Pak AR selalu habis untuk beli buku,” kelakar Sukriyanto.
Tahun 1938, ketika Kongres ke-28 Muhammadiyah di Medan, Pak AR mengajak teman-teman hadir dalam satu regu Pandu Hizbul Wathan bersepeda sejauh 1.200 km dari Palembang. Kisah tersebut diangkat menjadi film “Meniti 20 Hari” produksi LSBO PP Muhammadiyah.
Tahun 1944 Pak AR pulang ke desanya di Bleberan, Kulonprogo, untuk menjadi pamong desa di Galur selama setahun.
Ketika Agresi Militer Belanda tahun 1947-1948, Pak AR ikut bergerilya dalam divisi di bawah komando Dawam Rozie, gurunya dulu, dan mendapat pangkat Letnan Satu. Ketika Agresi Militer berakhir, Pak AR kembali ke Galur.
Tahun 1950, Pak AR menjadi pegawai di Departemen Agama Wilayah DIY dan tinggal di Kauman. Di Kauman ini, tetap aktif di Muhammadiyah sambil belajar kepada para tokoh seperti Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Ahmad Badawi, K.R.H. Hadjid, dan masih banyak lagi.
Karena keterlibatannya di PP Muhammadiyah, Pak AR memperoleh amanah sebagai Ketua PDM Kota Yogyakarta, kemudian menjadi Ketua PWM DIY, hingga menjadi anggota Dzawil Qurba PP Muhammadiyah.
Tahun 1956 ketika Muktamar Muhammadiyah di Palembang, Pak AR terpilih sebagai salah satu wakil ketua. Alasannya juga unik, karena Pak AR sebelumnya lama tinggal di Palembang selama 10 tahun. Sehingga, ketika muktamar, beliau sering dipanggil oleh orang-orang Muhammadiyah di sekitar arena muktamar dan membuatnya dikenal waktu itu.
Pak AR juga sering ditugaskan untuk mewakili PP Muhammadiyah ke berbagai wilayah. Alhasil, ketika pemilihan mendapatkan banyak suara. Sejak saat itu, Pak AR selalu duduk di jajaran PP Muhammadiyah dan menjadi wakil ketua. Tahun 1968, Muktamar Muhammadiyah di Yogyakarta ia seharusnya menjadi ketua umum setelah memperoleh suara terbanyak.
“Namun, beliau menolak menjadi ketua umum sehingga ditunjuklah K.H. Faqih Usman sebagai ketua umum,” terang Sukriyanto.
Beberapa hari kemudian, Faqih Usman meninggal dunia, sehingga Pak AR diamanahi sebagai pejabat Ketua Umum PP Muhammadiyah. Dalam Sidang Tanwir 1969 di Ponorogo, Jawa Timur, dikukuhkan menjadi Ketua Umum sampai Muktamar ke-38 di Makassar tahun 1971.
Sejak saat itu, Pak AR terpilih secara berturut-turut menjadi ketua umum hingga empat muktamar berikutnya. Pada muktamar tahun 1990 di Yogyakarta, terpilih sebagai Ketua Umum K.H. Ahmad Azhar Basyir. Pak AR pun menjadikan sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah dengan masa periode terlama.
Selama Pak AR memimpin, ia berharap semua anggota Muhammadiyah menjadi muballigh, karena Muhammadiyah adalah organisasi dakwah.
Sebagai gerakan Islam, anggota Muhammadiyah juga harus mengamalkan ajaran Islam dan sebagai gerakan tajdid para anggotanya harus meningkatkan ilmu.
“Pak AR juga menganjurkan anggota Muhammadiyah harus kaya dan mandiri, supaya tidak bisa diatur orang lain,” tegas Sukriyanto.
Anggota Muhammadiyah juga wajib melakukan habluminallah dan habluminannas. Dalam kesehariannya, Pak AR sangat dekat dengan semua kalangan masyarakat, tidak memandang golongan apa pun. Termasuk juga dekat dengan para kiai, politikus, dan sebagainya.
“Dari Pak AR kita bisa pelajari bahwa komunikasi dan silaturahmi itu sangat penting dalam melaksanakan kepemimpinan. Mudah-mudahan generasi muda nanti menjadi generasi Islam yang bisa membangun habluminallah sekaligus habluminannas,” harap Sukriyanto.
Khoiruddin Bashori, mengutip perkataan Mitsuo Nakamura, peneliti Muhammadiyah, perihal sosok Pak AR, yaitu kombinasi antara orang Islam dan Jawa yang baik. “Jika ingin mencari orang Islam yang baik maka temuilah Pak AR, begitu pula sebaliknya,” katanya.
Di samping sebagai sosok yang dekat dengan semua kalangan, Pak AR juga merupakan sosok pembelajar yang baik dan berani keluar dari zona nyaman supaya bisa berkembang.
Dari sini, Pak AR mengajarkan kepada semua orang menjadi pribadi terbaik bagi diri sendiri. Selama Pak AR memimpin Muhammadiyah, beliau selalu mewakafkan diri untuk persyarikatan dan bersedia membantu persoalan umat. Bahkan, ringan berdakwah ke semua lapisan masyarakat baik atas, menengah, maupun ke bawah.
Khoiruddin juga menuturkan, kepiawaian Pak AR saat memimpin Muhammadiyah patut dipuji. Hal itu terlihat ketika krisis asas tunggal Pancasila. “Pak AR dengan tenang dan aspiratif mendengarkan berbagai pendapat dari semua pihak terkait hal tersebut,” tuturnya.
Karena itulah, beliau berhasil membawa bahtera Muhammadiyah selamat melewati dinamika politik kala itu. (*)
Wartawan: Dzikril Firmansyah Atha Ridhai
Editor: Affan Safani Adham
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow