Webinar MDMC tentang Erupsi Semeru: Hindari Dampak Parah Bencana
LUMAJANG – Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) PP Muhammadiyah mengadakan webinar “Mengungkap Awan Panas Semeru yang Terjadi Tanpa Tanda-Tanda”, Kamis (9/12). Kegiatan ini untuk menyampaikan informasi terkini dan teraktual kepada masyarakat seputar erupsi dan aktivitas Gunung Semeru.
Narasumber yang dihadirkan adalah Surono atau Mbah Rono (ahli Vulkanologi), Ma’rufin Sudibyo, S.T. (dongeng Geologi), serta Dr. Amin Widodo (ahli Geologi ITS Surabaya).
Budi Setiawan, S.T., Ketua MDMC PP Muhammadiyah, mengatakan bahwa banyak bencana alam terjadi di negeri ini dan masing-masing memiliki karakter berbeda. Kegiatan ini adalah upaya memberi pengetahuan sebagai bekal mempersiapkan diri atas berbagai kemungkinan.
Rindya Fery Indrawan, salah satu tim MDMC yang kini menjadi Wakil Ketua Pos Koordinasi Kecamatan Pronojiwo, Lumajang, menjelaskan bahwa poskor tersebut menempati puskesman Balai Penyuluhan Pertanian Dinas Pertanian Pronojiwo.
Laki-laki yang akrab disapa Indra itu berbagi cerita temuan-temuan di awal terjadinya bencana tersebut. “Banyak titik pengungsian, namun di Kecamatan Pronowijoyo nggak terlalu banyak. Banyak yang mandiri.” Mereka tinggal di rumah tetangga atau saudara yang tidak terdampak.
Ma’rufin Sudibyo secara runtut berbagi kisah bencana alam di negeri ini yang sukses diberikan upaya mitigasi hingga mendapati korban jiwa minimum, bahkan kebanyakan mencapai nol. Di antara bencana itu adalah meletusnya Gunung Galunggung (1982), Gunung Colo di Sulawesi Tengah (1983), dan Gunung Kelud di Jawa Timur (2014).
Bencana tersebut bukanlah hal kecil, namun korban jiwa dapat dihindari. Keberhasilan mitigasi pada bencana Gunung Galunggung menjadi salah satu tonggak untuk pemantauan gunung berapi. Hal ini menjadi bukti bahwa masyarakat sebenarnya bisa mengelola untuk menghindari dampak parah bencana.
Dari 127 gunung di Indonesia, 76 di antaranya mendapat pemantauan rutin karena adanya beberapa pertimbangan. Masing-masing memiliki ciri khas berbeda yang patut untuk dikenali lebih dini.
Meskipun tidak menunjukkan tanda-tanda peningkatan aktivitas vulkanik, Gunung Semeru mengalami sejumlah kondisi yang menjadi faktor terjadinya bencana pada Sabtu (4/12). Di antaranya adalah tingginya curah hujan sejak September, adanya longsoran kubah lava dan lidah lava, adanya lahar hujan, serta erupsi vulkanik.
Bila ditilik, ini bukan pertama kalinya Semeru mengalami letusan. Letusan pernah terjadi pada April 1885, November 1976, Januari 1978, serta Maret 1981, yang minim korban jiwa. Sedangkan bencana tahun 1909 memakan 220 korban jiwa dan Mei 1981 memakan 273 korban.
Dr. Ir. Amien Widodo, M.Si. dari Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya menambahkan, “Di Indonesia, takdirnya ya sudah begini. Konsekuensinya ada gempa dan gunung berapi seperti ini.” Kesadaran tentang hal ini penting dibangun untuk memahami situasi dan respon apa yang mesti diberi.
Amien secara detail menjelaskan tentang fenomena-fenomena bagaimana awan panas dapat timbul dari gugurnya kubah lava. “Awan panas atau wedhus gembel itu membawa gas, panas, batu, dan pasir,” jelasnya. Beberapa foto ditampilkan menunjukkan kondisi sebelum dan sesudah lewatnya awan panas.
Ia menyampaikan saran tentang pentingnya pengamatan terhadap guguran lava yang diikuti longsor, serta penambahan alat peringatan dini untuk longsor. Penting juga adanya komunitas yang dapat memberikan peringatan dini terkait potensi bencana alam. (*)
Wartawan: Ahimsa W. Swadeshi
Editor: Heru Prasetya
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow