MediaMU.COM

MediaMU.COM

Portal Islam Dinamis Berkemajuan

May 9, 2024
Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Yogya Darurat Sampah? PWM DIY Temukan Solusinya

Foto: Harian Jogja

YOGYA – Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menutup sementara Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan, Bantul, dari 23 Juli sampai 5 September. Volume sampah sudah melebihi kapasitas yang ada. Akibatnya, terjadi penumpukan sampai di berbagai tempat, terutama di rumah-rumah dan pasar.

Pimpinan  Wilayah Muhammadiyah (PWM) DIY memberikan respon cepat dalam Ta’awun Unggul Berkemajuan, Selasa malam (7 Muharram 1445 bertepatan 25 Juli 2023). Acara ini mengangkat topik “Komunitas dalam Mengurai Permasalahan Sampah di DIY” menghadirkan 3 narasumber, Maryono (Ketua Komunitas Pengelola Sampah Mardiko TPST Piyungan), Agus Amin Syaifuddin (Ketua Majelis Pemberdayaan Masyarakat PWM DIY), dan Ananto Isworo (Ketua Lembaga Dakwah Komunitas PWM DIY), dengan host Budi Santoso.

Maryono menganggap penutupan TPST sangat merugikan sebagian besar pemulung sampah, termasuk komunitas Mardiko, sebab tidak dapat mengais dan memulung sampah seperti biasanya. Mereka mengais sisa-sisa sampah yang masih ada di beberapa tempat.

Salah satu penyebab sering ditutupnya TPST Piyungan adalah aktivitas pembuangan sampah yang berlangsung 24 jam nonstop. Karena juga berlangsung malam hari, tidak ada yang mendorong sampah, sehingga meluber ke jalanan. Maka mulai dilakukan pembatasan mulai akhir 2018, pukul 06.00 sampai 17.00.

“Permasalahan lain adalah jalan yang becek menyebabkan banyak kendaraan tergelincir, banyak sampah di tepi jalan, bahkan berterbangan sampai ke rumah warga. Belum lagi sebagian air limbah dan hujan masuk ke pemukiman sehingga t tanah terjadi ongsor,” papar Maryono.

Berdirinya komunitas Mardiko berawal dari kedatangan MPM PP Muhammadiyah di TPST Piyungan yang menurut Maryono, hatinya tersentuh melihat seorang pemulung makan dengan tidak cuci tangan dikerumuni lalat di sekitar. MPM saat itu berinisiatif memanggil para pemulung TPST Piyungan bertemu M. Nurul Yamien, Ketua MPM PP bersama pihak terkait untuk didampingi. Akhirnya berdirilah komunitas Mardiko (Makaryo Adi Ngayogyakarta) pada 20 April 2016 .

“Artinya, bekerja untuk membantu kebersihan Kota Yogyakarta lewat mulung, karena bisa mengurangi debit sampah di TPST Piyungan, kurang lebih perminggunya 90 ton,” jelas Maryono.

Saat ini, jumlah anggota komunitas Mardiko sekitar 400 orang, dengan 40 persen adalah warga sekitar TPST Piyungan, sedangkan 60 persen warga dari luar, seperti Bangka Belitung, Purwodadi, Flores, Wonosari, Jakarta, dan Bandung. Salah satu hal yang melatarbelakangi terbentuknya komunitas ini adalah ekonomi terkelola dengan baik, begitu juga spiritual, sosial dan budaya terlindungi.

Komunitas Mardiko sering mengadakan pengajian dan setiap acara itu dikomunikasikan cara pengelolaan sampah dengan cara baik. Karena waktu itu belum ada mesin, maka caranya dengan dipilah dan setelah terkumpul dijual ke pengepul. Belum lama ini, sekitar 3-4 bulan lalu, MPM PP Muhammadiyah bersama Lazismu dan Bank Mayapada mengadakan rumah produksi dengan mesin pemilah sampah di dalamnya.

Komunitas Mardiko sudah mendapatkan pelatihan Dari alat tersebut 1,8 ton sampah dipilah dan dikelola hasilnya, ternyata residu mencapai 3½ kwintal. Secara tidak langsung, anggota komunitas bisa membantu pemerintah mengurangi sampah, kurang lebih 1½ ton per 2 ton. Dari TPST Piyungan menghasilkan sampah 600-700 ton per hari. Dengan mesin serupa, maka secara tidak langsung akan mengurangi debit sampah di sana.

Agus dari MPM PWM DIY memandang, untuk menyelesaikan masalah sampah diperlukan kerja kolaboratif dari hulu ke hilir. Jika yang dilakukan Komunitas Mardiko berada di hilir, maka MPM fokus menyelesaikan masalah di hulu, tepatnya di rumah tangga. Sejak 2023, MPM mencoba melakukan satu piloting di RT 3 Dusun Pasekan Lor, Balecatur, Gamping, Sleman, untuk ikut mengelola sampah berbasis rumah tangga.

Apa yang dilakukan MPM sangat sederhana. Pertama, memilah sampah mulai dari rumah tangga sudah didorong untuk memilah sampah, setidaknya menjadi 3 bagian, yaitu organik, anorganik, dan basah. Sampah organik dipilah kemudian dikembangkan dengan maggot, sedangkan anorganik dijual.

“Setiap dua minggu sekali, di Dusun Pasekan Lor ada semacam pasar sampah dimana warga mengumpulkan sampah, lalu diambil oleh kolektor dari aplikasi rapel.id. (Hasil penjualan) itu menjadi tabungan warga. Setiap dua minggu sekali, rata-rata mencapai 70 kg, ketika Lebaran malah luar biasa, ada 280 kg untuk 1 RT, dan kumpulan sampah itu didominasi plastik, antara 45-60 persen tiap rumah,” papar Agus.

Maka, program bersama MPM PP Muhammadiyah, Fakultas Pertanian UMY, dan berbagai pihak terkait, masalah sampah untuk 1 RT terselesaikan. Sampah organik yang dijadikan maggot punya  nilai ekonomis, bisa dijual fresh/kering atau dijadikan pelet untuk pakan ikan dan ternak.

Masalah sampah ini berdasarkan pada mindset dan habit (kebiasaan). Untuk memberikan penyadaran, ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama, edukasi, baik dengan literasi, pelatihan, sosialisasi, dan sebagainya. Kedua, pendampingan, berdasarkan pengalaman dari RT 3 itu, mengubah perilaku memang sulit, sampai harus memberikan hadiah terhadap siapa yang bisa memilah sampah.

“Memang perlu effort dan kerja kolaboratif semua pihak harus memberikan edukasi, literasi, dan pendampingan. Inilah yang akan coba kami lakukan, antara MPM dengan stakeholder, untuk mengajak berbagai pihak yang bermitra maupun lainnya untuk memberikan 3 hal tersebut,” ucap Agus.

Sedangkan Ananto Isworo menyoroti kesalahan mindset atau cara pandang masyarakat. Sekitar 80 persen masalah sampah adalah soal mindset dan 20 persen perilaku manusia. Karena kesalahan itu kemudian mempengaruhi bagaimana pola memperlakukan sampah yang selama ini dipahami.

Ketika Muhammadiyah mendiskusikan apa itu sampah di tahun 2010, setahun berikutnya muncul Gerakan Sedekah Sampah yang dilaunching oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah saat itu Din Syamsuddin bersama Kementerian Lingkungan Hidup. Pengertian sampah menurut Muhammadiyah kala itu adalah sisa energi atau barang yang selesai dipakai.

Karena pemahaman masyarakat selama ini, barang yang sudah tidak dipakai, tidak berguna, dan tak ada nilai jual adalah sampah, maka barang tersebut dibuang semaunya. Apalagi, ada satu kalimat yang didoktrin sejak kecil, yaitu buanglah sampah pada tempatnya. Kata buang terkesan negatif, seakan-akan barang yang dibuang tidak berguna dan tak ada nilai jual lagi. Padahal barang tersebut adalah sisa energi dan masih ada nilai jual yang tinggi.

Tentang sampah organik yang dianggap bau, kalau kita menganggap sebagai sisa energi, akan terbukti bahwa jika semua sampah organik terkumpul akan menghasilkan gas metan sangat tinggi. Apabila sisa-sisa energi yang banyak dari sampah organik tersebut bisa dikelola dengan baik, maka bisa menjadi biogas yang berguna bagi masyarakat.

Sama halnya dengan sampah anorganik, dalam hal ini plastik, juga punya sisa energi. Tetapi, karena mindset sebagian besar masyarakat seperti disebutkan sebelumnya, sehingga membuat pemahaman bahwa plastik itu adalah sampah, mencampurkan semua baik organik maupun anorganik.

“Yang membuat itu (plastik dan kertas) menjadi sampah, sesungguhnya karena perilaku kita dan cara pandang yang salah,” kata Ananto.

Botol, kertas, dan barang-barang lain yang seharusnya masih punya nilai, akhirnya tercampur dengan kuah makanan, saos, dan sebagainya, sehingga tidak bisa dimanfaatkan lagi, walaupun masih bisa dengan melalui proses pencucian lewat alat khusus. Semua kembali ke mindset, jika mampu memandang hasil pemakaian barang sebagai sisa energi, maka akan diupayakan untuk mengelola sampah dengan sebaik-baiknya.

Itulah yang dilakukan Ananto bersama koleganya pada 2013 dengan membuat Gerakan Shodaqoh Sampah berbasis ecomasjid di Masjid Al Muharram, Brajan, Tamantirto, Kasihan, Bantul. Ini menjadi alternatif bagi masyarakat yang ingin bersedekah tapi tak punya uang, maka bisa menggunakan sampah. Dengan begitu, warga akan sadar bahwa barang yang tak terpakai masih ada nilai jual, bahkan bisa membiayai anak-anak yatim piatu yang putus sekolah, memberikan sembako kepada janda fakir miskin, sampai santunan kesehatan.

“Yang kita lakukan di Gerakan Shodaqoh Sampah adalah memberikan edukasi kepada masyarakat atau komunitas. Maka gerakan yang kami rintis berbasis masjid. Kami punya prinsip, kalau setiap takmir masjid bertanggung jawab atas sampahnya, maka persoalan ini akan selesai. Ada 800 masjid di Indonesia dan semua punya jamaah/komunitas,” ujar Ananto.

Gagasan Gerakan Shodaqoh Sampah inilah yang dibawakan olehnya saat mewakili Indonesia dalam Global Environment Forum di Paris, Prancis. Alhasil, banyak komunitas baru serupa bermunculan, dan semuanya terlibat pada bagaimana meluruskan pemahaman dan cara pandang terhadap barang yang tidak terpakai bukanlah sampah. Adalah, sisa energi yang harus diselamatkan kembali dan dijadikan nilai sirkular ekonomi, dari situ akan menjadi nilai ukhrowi.

Maka, ia punya program S3 (Sekolah Shodaqoh Sampah) bekerjasama dengan Pemda Bantul. Sebelum Ramadhan 2023, sudah ada 500 masjid di DIY yang dilatih mengelola sampah dari basis jamaah atau komunitas masing-masing. Tidak hanya masjid, basis lainnya seperti sekolah, posyandu, RT, dan umat beragama lainnya juga melakukan gerakan ini, sampai oleh Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) gerakan ini diduplikasikan menjadi gerakan nasional dengan nama GRADASI.

“Ini semua dalam rangka upaya menyelesaikan permasalahan sampah dari rumah masing-masing, mengubah mindset atau cara pandang bahwa sampah yang ada di depan mata adalah sisa energi untuk kita olah kembali. Kita selalu sampaikan ke pemerintah, bahwa Piyungan itu seharusnya tidak sekadar tempat pembuangan akhir, tetapi ada teknologi pengolahan sampah yang harus dimaksimalkan, sehingga menjadi produk-produk atau energi baru dari sampah-sampah tersebut,” tandas Ananto. (*)


Wartawan: Dzikril Firmansyah

Comment

Your email address will not be published

There are no comments here yet
Be the first to comment here