Pak Haedar: Boleh Klaim tapi Jangan Dusta
YOGYA – Masih kental dengan suasana Hari Pahlawan, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mengangkat tema “Muhammadiyah dan Kepahlawanan Nasional” dalam pengajiannya, Jum’at (12/11). Kegiatan ini disiarkan melalui kanal YouTube Muhammadiyah Channel.
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Haedar Nashir, M.Si., mengantarkan kegiatan tersebut dengan mengatakan, “Ketika kita berbicara Muhammadiyah dan kepahlawanan nasional sering ada pemahaman yang dangkal.” Sejarah perjalanan Muhammadiyah kurang dipahami secara menyeluruh.
Berdirinya kepanduan Hizbul Wathon (HW) misalnya, bila dikupas lebih dalam akan menemukan fakta tentang berbagai gerakan perjuangan tanah air. Termasuk lahirnya tokoh seperti Jenderal Sudirman dan Ki Bagus Hadikusumo. Keduanya berkontribusi dalam mempertahankan kemerdekaan negara Indonesia.
Meskipun banyak tokoh Muhammadiyah yang memiliki peran untuk bangsa ini, Prof. Haedar mengingatkan, “Boleh mengklaim, tapi tidak boleh dusta.” Ia menegaskan pentingnya bersikap jujur dalam menyampaikan cerita sejarah. Muhammadiyah belajar untuk itu, belajar untuk jujur, belajar untuk cerdas, belajar untuk multiperspektif dalam sejarah.
Selanjutnya, narasumber pertama adalah Kevin W. Fogg, Ph.D. (Associate Director California Asia Center The University of North California). Awalnya diminta mengupas tema “Bung Tomo, Muhammadiyah, dan Revolusi Indonesia”, namun ia menuturkan, “Saya tidak hanya ingin melihat Bung Tomo, tapi juga Muhammadiyah secara luas.”
Usai momen proklamasi, Indonesia belum sepenuhnya bebas dari pihak asing. Sekitar November 1945, Bung Tomo menjadi salah satu tokoh yang berpengaruh di Surabaya. Ia kerap menyampaikan kalimat-kalimat motivasi untuk masyarakat agar bersatu memperjuangkan kemerdekaan, di akhir kalimatnya ia menggelorakan takbir.
Dorongan yang menggerakkan umat muslim untuk berjuang tidak hanya di Surabaya, juga banyak daerah di Indonesia. “Sumbangan kaum Islam yang begitu besar dalam pertempuran jika didalami dan dilihat memiliki kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan,” tutur Kevin dalam Bahasa Indonesia.
Muhammadiyah yang didesain well-organized hingga mampu berkembang pesat di seluruh negeri memberi kontribusi besar dalam perjuangan revolusi, termasuk di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan lain-lain.
Wujudnya antara lain adalah berdirinya laskar, dapur umum, serta palang merah yang membantu di masa-masa itu. Kevin yang sempat mewawancarai beberapa veteran menilai bahwa keberanian mereka dalam berjuang salah satunya didorong semangat syahid. Tidak hanya kaum laki-laki, kaum perempuan pun turut berperan.
Pada perjuangan diplomasi politik, terdapat juga tokoh-tokoh Muhammadiyah yang terlibat dalam proses penyusunan konstitusi undang-undang dasar.
Mula-mula istilah “pahlawan” di Indonesia disebut untuk mengacu pada siapapun yang ikut dalam perang, termasuk perang di Surabaya. Gelar “pahlawan nasional” muncul tahun 1957 diinisiasi Presiden Soekarno. Gelar ini, menurut Kevin, sebenarnya tidak terlepas dari kepentingan politik baik di zaman orde lama maupun orde baru.
Narasumber tersebut kemudian menuturkan, “Jangan-jangan kita hanya fokus pada beberapa tokoh yang punya anugerah penghargaan.” Masih minim jumlah sosok perempuan yang diangkat menjadi pahlawan nasional. “Kok bisa perempuan yang sumbangannya begitu besar hanya dihargai 17%,” tuturnya menyebut persentase jumlah perempuan pahlawan nasional. (*)
Wartawan: Ahimsa W. Swadeshi
Editor: Heru Prasetya
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow