Tidak Perlu Jadi Sekuler dan Liberal untuk Mengawal Misi Kemanusiaan
YOGYAKARTA — Dalam pandangan lama, Maqashidusy syariah Islam tekanannnya lebih bersifat menjaga, melestarikan, kurang menekankan pada development (pengembangan) dan human right (hak asasi manusia). Dalam kerja-kerja kebencanaan yang diperlukan adalah development, sulit sekali melokalisir kebencanaan sesuai ras, suku, agama, dan bahasa.
Hal itu disampaikan Prof. Dr. M. Amin Abdullah, guru besar Ilmu Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dalam acara Tadarus MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center), Sabtu 1 Mei 2021 malam. Tema malam itu “Islam Progresif dan Peran Lembaga Kemanusiaan” dengan moderator Hening Parlan, Divisi Diklat MDMC PP Muhammadiyah.
Amin Abdullah mengawali paparannya tentang Islam Progresif. Ia mengajak peserta untuk melihat landasan teoritis yaitu tentang maqashidusy syariah dari kerja-kerja kemanusiaan dalam kebencanaan.
“Kemudian pemahaman muslim terhadap maqashidusy syariah yang lama itu penekanannya juga cenderung untuk individu, belum untuk masyarakat apalagi kemanusiaan yang merupakan tingkat pemikiran lebih tinggi. Nilai-nilai paling universal dan mendasar seperti keadilan kadang-kadang sulit dipahami,” katanya.
MDMC dengan kerja-kerja kemanusiaan dalam lingkup kebencanaan, menurut Amin Abdullah, sudah berada pada jalur yang benar menurut pandangan maqashidusy syariah yang baru. “MDMC tidak lagi terjebak dalam pandangan muslim nonmuslim. Kemanusiaan adalah kemanusiaan, itu tanpa syarat. Begitu ada bencana ya harus dibantu, tanpa pandang bulu,” tandasnya.
Selanjutnya Amin Abdullah memaparkan enam karakteristik muslim progresif ijtihadi atau Islam berkemajuan.
Pertama, mengadopsi pandangan bahwa beberapa bidang hukum Islam tradisional memerlukan perubahan dan reformasi substansial dalam rangka menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat muslim saat ini.
Kedua, cenderung mendukung perlunya fresh ijtihad dan metodologi baru dalam ijtihad untuk menjawab permasalahan kontemporer.
Ketiga, mengombinasikan kesarjanaan Islam tradisional (alTurats) dengan pemikiran dan pendidikan modern (al-Tajdid); (sains, sosial dan humaniora; general education).
Keempat, berkeyakinan bahwa perubahan sosial, baik pada ranah intelektual, moral, hukum, ekonomi atau teknologi, harus tergambar jelas dan terefleksikan dalam hukum Islam.
Kelima, tidak mengikutkan dirinya pada dogmatism atau madzhab hukum dan teologi tertentu dalam pendekatan kajiannya.
Keenam, meletakkan titik tekan pemikirannya pada keadilan sosial, keadilan gender, HAM dan relasi yang harmonis antara muslim dan non-muslim.
Amin Abdullah mengingatkan kepada para peserta untuk membedakan antara Islam progresif dengan sekulerisme. “Sekulerisme (adalah) apa yang kita lakukan tidak ada hubungannya dengan agama, kalau Islam progresif (adalah) etika dan value berhubungan erat dengan agama. Muslim progresif terikat secara mendalam dengan etika agama, sedangkan sekulerisme mencabut agama seakar-akarnya,” katanya.
Tadarus MDMC dibuka Ketua MDMC PP Muhammadiyah, Budi Setiawan. Ia mengatakan, selama ini MDMC sudah melaksanakan banyak aksi kemanusiaan meskipun orang mengenal MDMC bergerak di bidang kebencanaan. MDMC di tahun-tahun lalu terlibat dalam aksi-aksi kemanusiaan yang memang spesifik contohnya konflik di Sampang dan Lampung.
Menurut Budi, sejak awal nilai kemanusiaan sudah dipelajari MDMC. Dalam kebencanaan, nilai-nilai kemanusiaan yang diangkat. “Kami tidak memandang itu daerah Muhammadiyah atau bukan, tetapi karena daerah itu memerlukan pertolongan. Termasuk ketika di Bali, kami mengelola pengungsian, tidak jadi masalah,” tutur Budi.
Terkait pemaparan materi yang disampaikan Amin Abdullah, saat memberi kata penutup Budi Setiawan menyampaikan kesimpulan penting. “Dengan pemahaman maqashidusy syariah yang baru, kita tidak perlu jadi sekuler dan liberal untuk melakukan banyak hal dalam Islam Berkemajuan,” tegas Budi Setiawan. (hr)
Berita dikirim Bapak Arif Jamali, Wakil Ketua MDMC Indonesia
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow